Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 05/04/2016, 08:14 WIB
Hilda B Alexander

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - "Reklamasi tetap jalan karena dari tahun 1995 sudah ada Keppres (keputusan presiden)-nya, dan menurut saya jalan saja," kata Gubernur Provinsi DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di Rusunawa Marunda, Cilincing, Jakarta Utara, Sabtu (2/4/2016).

Ahok memastikan proyek reklamasi pembangunan 17 pulau buatan di Pantai Utara Jakarta tersebut akan tetap berjalan.

Ia menyebut megaproyek ini tidak akan terhenti hanya gara-gara kasus suap yang melibatkan PT Agung Podomoro Land Tbk (APLN), salah satu pengembang pulau buatan, dengan Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta Mohamad Sanusi.

Untuk siapa reklamasi dibangun?

Membangun pulau buatan dianggap sebagai jalan keluar pengembangan baru di Jakarta. Pasalnya, ketersediaan lahan kosong di darat sudah sangat terbatas. Lahan yang tersisa ini dipatok dengan harga selangit.

Contohnya saja lahan di kawasan Mega Kuningan, Jakarta. Saat ini sudah menyentuh angka Rp 80 juta hingga Rp 120 juta per meter persegi.

Angka lebih tinggi dipatok untuk lahan di Central Business District (CBD) Sudirman yakni Rp 150 juta hingga Rp 200 juta per meter persegi.

Reklamasi kemudian menjadi opsi yang dinilai menarik dan dipilih para pengembang.

"Kami pilih membangun reklamasi karena lahan di daratan Jakarta sudah sangat terbatas. Selain itu, ini pilihan menarik karena properti di tepi pantai banyak peminatnya. Itu Singapura mampu menarik minat orang-orang Indonesia," tutur Vice President Corporate Marketing APLN, Indra W Antono kepada Kompas.com, Minggu (4/4/2016)

SOM Rancangan induk Pluit City yang dikembangkan PT Agung Podomoro Land Tbk.
Hingga saat ini, menurut data Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) DKI Jakarta terdapat sembilan pengembang yang mengambil bagian dalam pembangunan 17 pulau buatan di Teluk Jakarta.

Mengacu pada data tersebut, semua pulau yang ada dalam proyek reklamasi diberi kode huruf A sampai Q.

PT Kapuk Naga Indah tercatat menjadi pengembang yang paling banyak mendapat bagian. Anak perusahaan dari Agung Sedayu Group ini tercatat akan menggarap lima pulau, masing-masing Pulau A, B, C, D, dan E. Baca: Terkait Sanusi, Bos Agung Sedayu Dicegah KPK ke Luar Negeri

Untuk Pulau F pembangunannya akan diserahkan kepada PT Jakarta Propertindo, Pulau G kepada PT Muara Wisesa Samudera yang merupakan entitas usaha APLN, dan Pulau H yang diambil PT Taman Harapan Indah. 

Tidak semua pulau akan dibangun oleh satu pengembang. Sebab, ada beberapa pulau yang dibangun atas kerja sama dari dua pengembang. 

Pulau-pulau tersebut, seperti Pulau I yang pembangunannya diserahkan kepada PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk dan PT Jaladri Eka Pasti, Pulau L ke PT Manggala Krida Yudha dan PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk, serta Pulau M ke PT Manggala Krida Yudha dan PT Pelindo II. 

Sementara itu, pembangunan Pulau J dan K akan diserahkan kepada PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk, Pulau N untuk PT Pelindo II, Pulau O kepada PT Jakarta Propertindo, serta Pulau P dan Q untuk PT KEK Marunda.

jaya ancol seafront Properti berfitur pantai ini dijual dengan harga tinggi.
Meski menarik bagi pengembang, namun pembangunan lahan di atas laut tersebut tidak bisa dikatakan murah. Untuk membangun satu meter kubik dibutuhkan dana sekitar Rp 4 juta.

Bahkan, Executive Marketing Director PT Muara Wisesa Samudra, Matius Jusuf, memperkirakan, harga lahan rekayasa sekitar Rp 10 juta per meter kubik dengan kedalaman 7,5 meter.

Dengan ongkos produksi setinggi itu, dapat dipastikan harga properti yang ditawarkan pun sangat tinggi. Bisa menembus angka belasan hingga puluhan juta rupiah per meter persegi.

Pantai Mutiara yang dikembangkan PT Intiland Development Tbk, contohnya. Menurut Vice President Director and Chief Operating Officer Jakarta PT Intiland Development Tbk, Suhendro Prabowo, potensi mendapat keuntungan berlipat dari menjual properti di lahan reklamasi, lebih besar ketimbang lahan daratan.

"Harga kavling kanal (di atas lahan reklamasi) di Pantai Mutiara sekitar Rp 30 juta per meter persegi untuk harga terendah, dan Rp 40 juta per meter persegi untuk harga tertinggi," ujar Suhendro.

Angka ini jauh lebih mahal ketimbang kavling daratnya di kawasan yang sama senilai Rp 15 juta sampai Rp 20 juta per meter persegi.

Sebagai informasi Pantai Mutiara dan apartemen Regatta yang berada di Pantai Mutiara merupakan hasil reklamasi kurin 1990-an. Baca: Regatta II Dibanderol Rp 30 Juta Per Meter persegi

Sementara PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk berkolaborasi dengan PT Jaya Real Property Tbk membesut Jaya Ancol Seafront. Ini merupakan proyek perumahan eksklusif berkonsep resor dengan jumlah terbatas, yakni hanya 90 unit.

Harga jual rumah dengan fitur andalan pantai Ancol ini serentang Rp 5 miliar untuk ukuran 8 x 18 meter dan Rp 6,4 miliar untuk ukuran 9 x 25 meter.

Sementara Pluit City yang dibesut APLN, selama tes pasar dijual sekitar Rp 1 miliar untuk unit apartemen, Rp 3 miliar hingga Rp 4 miliar untuk rumah, dan ruko Rp 4 miliar ke atas.

Karena itulah, Matius mengatakan, hanya orang-orang kaya dan berkocek teballah yang bisa membeli properti di atas lahan reklamasi ini.

Betapa tidak, mereka yang membeli kavling kanal Pantai Mutiara dan tinggal di atasnya mendapat fasilitas dermaga mini untuk tempat berlabuh speed boat-nya.

Fasilitas serupa juga disediakan APLN untuk Pluit City. Megaproyek tahap awal seluas 160 hektar ini bahkan dirancang memiliki pusat bisnis sendiri atau central business district (CBD) dengan patokan harga yang juga selangit.

 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com