Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bernardus Djonoputro
Ketua Majelis Kode Etik, Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP)

Bernardus adalah praktisi pembiayaan infrastruktur dan perencanaan kota. Lulusan ITB jurusan Perencanaan Kota dan Wilayah, dan saat ini menjabat Advisor Senior disalah satu firma konsultan terbesar di dunia. Juga duduk sebagai anggota Advisory Board di Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung ( SAPPK ITB).

Selain itu juga aktif sebagai Vice President EAROPH (Eastern Region Organization for Planning and Human Settlement) lembaga afiliasi PBB bidang perencanaan dan pemukiman, dan Fellow di Salzburg Global, lembaga think-tank globalisasi berbasis di Salzburg Austria. Bernardus adalah Penasehat Bidang Perdagangan di Kedubes New Zealand Trade & Enterprise.

Teknologi “Disruptive” Untuk Kota

Kompas.com - 28/03/2016, 16:34 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Kejadian lumpuhnya sebagian akses menuju pusat bisnis atau central business district (CBD) Jakarta, Selasa (22/3/2016), yang dipicu bisnis transportasi berbasis aplikasi, menjadi riak awal pentingnya isu ini menjadi perhatian para pemangku kepentingan kota.

Seperti halnya banjir, tawuran, kekumuhan,  sektor informal, buruknya sanitasi, dan masalah kota lainnya akan berdampak pada kehidupan kota jika ditangani secara parsial dan kurang bijak.

Hadirnya teknologi disruptive dalam pelayanan transportasi kota, menyadarkan kita perlunya kebijakan program pembangunan yang juga progresif. 

Semakin dominan "Internet of things" dalam kehidupan perkotaan, membuat masyarakat Indonesia semakin bergantung pada "services on demand" dan berkembang menjadi masyarakat yang sangat peka terhadap informasi real-time.

Kota semakin instan,  reaksi atas sebuah kejadian segera meluas. Ruang-ruang kota serta merta menjadi tempat ekspresi yang bersifat oportunistik, baik para pihak yang pro maupun kontra terhadap kebijakan tertentu.

Politisi lokal dan nasional menyambut hadirnya komoditas politik ini. Para pelaku usaha pun berlomba melakukan justifikasi atas taktik dan strategi pasar. Alih-alih mendapat alternatif baik, para pengguna jasa layanan kota malah menjadi korban.

Akibatnya, ruang kota menjadi semakin oportunis. Dan kota semakin berbasis permintaan instan (ubiquitous) atau on-demand.

Teknologi dan sektor informal perkotaan seperti jasa ojek dan taksi gelap, bertabrakan dengan formalitas sektoral.

Demikian pula formalitas bentuk fisik kota, apabila tidak ditata dalam bentuk kebijakan perencanaan yang visioner,  progresif dan "tanggap disrupsi", niscaya kota akan sulit menghindar dari risiko akibat konflik-konflik horizontal dan vertikal masyarakat perkotaan kita.

Konflik horizontal Selasa lalu, adalah masalah sektor informal yang tidak mampu ditata. Bahkan akan selalu dijadikan lahan "konflik". Aplikasi dan transportasi hanyalah bungkus, berujung pada manajemen konflik horizontal di masyarakat. Tidak lebih tidak kurang.

Sektor informal dipelihara sebagai "rempah-rempah penting" untuk meracik "salero konflik"  santapan bisnis dan politis.

Oleh karena itu, penyelenggara kota harus mampu melihat persoalan klasik ini. Salah besar bila Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama larut juga dalam perseteruan.

Padahal harusnya dia menangani masalah ini seperti layaknya sektor informal dalam perekonomian kota. Sama dengan PKL, dan PSK Kalijodo. Pemerintah kota harus melakukan transformasi kebijakan dan program pembangunan secepat dan se-ekspansif perkembangan teknologi, dan segera mengatasi sistem penataan ruang kita yang sedang kritis.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Selamat, Kamu Pembaca Terpilih!
Nikmati gratis akses Kompas.com+ selama 3 hari.

Mengapa bergabung dengan membership Kompas.com+?

  • Baca semua berita tanpa iklan
  • Baca artikel tanpa pindah halaman
  • Akses lebih cepat
  • Akses membership dari berbagai platform
Pilihan Tepat!
Kami siap antarkan berita premium, teraktual tanpa iklan.
Masuk untuk aktivasi
atau
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau