"Mana ada yang mau menabung kalau seperti ini," cetus dia.
Jadi jika para pejabat Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mau bermain-main dengan pemupukan tabungan seperti ini, sebaiknya urus sendiri dan tarik Ditjen Pembiayaan Perumahan dari Kementerian PUPR lalu pindahkan ke Kemenkeu.
Karena pembiayaan perumahan itu seharusnya tentang perumahan rakyat, bukan tentang pembiayaan. Dan karena cara pikir ahli-ahli pembiayaan yang menganggap semua urusan bisa direkayasa dari sisi pembiayaannya itulah yang telah membawa kehancuran penyediaan perumahan.
"Tentunya setelah didahului kehancuran bisnis properti dan yang akhirnya pula membawa kehancuran ekonomi. Setahu saya Presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla tidak mau kebijakan perumahan rakyat yang asal-asalan seperti itu," urai Jehansyah.
Integrasi
Pembiayaan perumahan juga seharusnya dipadukan dengan kinerja penyediaan perumahan yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Dengan integrasi itu, maka sistem penyediaan tersebut berpadu dengan mekanisme pembiayaan yang dikembangkan dan bersumber dari pemupukan dana tertentu.
Jehansyah mencontohkan, untuk membiayai investasi perumahan rakyat (public housing) berskala besar selalu digunakan skema investasi jangka panjang. Pembiayaannya juga harus memakai skema jangka panjang.
"Untuk itu, perlu pemupukan dana yang juga pastilah bersumber dari dana-dana jangka panjang," ucap Jehansyah.
Nah, untuk skema penyediaan perumahan rakyat yang seperti ini maka lembaga yang harus dibentuk adalah Bank Pembangunan Perumahan dan Perkotaan. Itu seperti Khazanah Berhad di Malaysia maupun Temasek di Singapura yang membiayai proyek-proyek gede pengembangan kawasan perkotaan termasuk perumahan rakyat.
Sedangkan sebagai pelaksananya, harus ada lembaga pembangunan perumahan dan perkotaan sebagai sebuah dedicated authority.
"Begitulah contohnya kalau mau membangun sistem penyediaan perumahan rakyat yang benar yang didukung sistem pembiayaan dan sistem kelembagaan yang mumpuni," tegasnya.