"Pemerintah tidak mempunyai strategi penguasaan lahan untuk megaproyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Akibatnya, semuanya serba mendadak dan dilakukan terburu-buru," kata Ketua Umum Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) Bernardus Djonoputro, kepada Kompas.com, beberapa waktu lalu.
Upaya terburu-buru itu juga dinilai menjadikan negara sebagai contoh yang buruk bagi masyarakatnya. Terlebih lagi Presiden Jokowi dianggap terlalu memaksakan kehendaknya sendiri.
"Kami melihat Jokowi sudah cenderung menjadi otoritarian-birokratis, mengadopsi model-model pembangunan ala orba yang dominan dipengaruhi oleh kekuasaan, uang, dan pendekatan militeristik jika ada yang melawan," ungkap Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Zaenal Muttaqien, Jumat (12/2/2016).
Selain itu, Walhi juga mengkhawatirkan dampak terhadap lingkungan akibat pembangunan kereta cepat. Menyoal hal tersebut, Zaenal menyarankan pemerintah mesti memeriksa secara menyeluruh dampak lingkungan terhadap 9 kabupaten di Jawa Barat yang dilalui jalur kereta cepat.
Selain dampak lingkungan, dampak lain dari pembangunan kereta cepat ini adalah adanya kemungkinan wilayah-wilayah yang terhambat pembangunannya. Wilayah-wilayah ini terhambat karena tidak dilewati lintasan kereta cepat.
Menurut Wakil Ketua IAP, Elkana Catur Hardiansah, ada cara untuk mengantisipasi hal tersebut yaitu dengan memikirkan perencanaan pembangunnan proyek infrastruktur secara lebih komprehensif.
"Pembangunan infrastruktur juga pasti ada negatifnya, meski di satu sisi membangkitkan pergerakan ekonomi macam gerai-gerai komersial di stasiun yang tumbuh pesat," tutur dia.
Maksudnya, pemerintah memang membangun kereta cepat dengan tujuan menciptakan kawasan pertumbuhan baru. Tetapi, tidak menutup kemungkinan pemerintah luput memprediksi dampak pembangunan tersebut.
Padahal, dalam pembangunan, pemerintah harus bisa merespon secara cepat dengan meninjau kembali rencana tata ruang untuk mengantisipasi kemunculan stasiun yang berpotensi menjadi kawasan pertumbuhan baru.
Misalnya, apakah geografi, air tanah, dan kelabilan tanah kawasan yang berpotensi ini mampu mendukung pertumbuhan baru. Dengan kata lain, lingkungan yang tidak mendukung justru bisa rusak dengan adanya proyek tersebut.
"Apakah daya dukungnya cocok untuk permukiman dan kota baru. Dari sisi penataan ruangnya juga harus dipertimbangkan," jelas Elkana.
Berbagai macam dampak negatif itu membuat Walhi mempertanyakan poros maritim yang sering didengungkan oleh Jokowi.
Menurut dia, arah poros maritim menjadi tidak bermakna di tengah situasi pembangunan kereta cepat yang efisiensi dan efektivitasnya masih perlu dikaji.
"Kami meminta presiden untuk sadar, tidak keburu nafsu dan kembali kepada janjinya membangun poros maritim," tambahnya.