Tanyakan kepada Ceppy Chair Bekajaya dan Gin Gin Ginanjar. Dua anak muda yang tergabung dalam komunitas Pushing Panda Bandung ini baru saja melakukannya. (Baca: Pertama di Indonesia, Meniti Tali di Antara Dua Gedung Tinggi)
Bahkan, sebelum itu, mereka berhasil melintasi Sungai Cikapundung Bandung tanpa harus berenang, menjejaki Jembatan Kereta Api Cisomang Purwakarta setinggi 120 meter, dan berjalan di antara dua tebing Gunung Hawu Bandung.
Seluruh kegiatan tersebut dilakukan berbekal webbing (tali pipih sebagai lintasan utama), climbing ropes (tali untuk memanjat), yang dilengkapi dengan anchor points.
"Ketakutan untuk jatuh tetap ada. Itu manusiawi. Tetapi kami harus melawan ketakutan itu dengan kesungguhan, dan fokus. Hasilnya, olahraga ekstrem ini ternyata bisa menyembuhkan 'penyakit' mental," tutur Ceppy kepada Kompas.com, usai mencetak prestasi menjadi orang pertama bersama Gin Gin Ginanjar berjalan di atas lintasan tipis 2,5 cm, Jumat (8/1/2016).
Pendiri komunitas Pushing Panda Bandung, Mulyana, menjelaskan, kalau hobi dilakukan dengan penuh hasrat dan kesungguhan, maka ia bukan lagi belaka kesenangan (pleasure).
"Kegiatan ini, khususnya urban highline, juga bisa memengaruhi kondisi emosional seseorang. Yang tadinya grasa-grusu, terburu-buru, egois, namun dengan menekuninya bisa menjadi lebih kalem, seimbang, tenang dan penuh perhitungan," papar Mulyana yang juga tergabung dalam Asosiasi Roof Access Indonesia.
Konsentrasi
Mulyana melanjutkan, dalam meniti tali, dibutuhkan konsentrasi dan ketenangan tingkat tinggi.
Dengan melatih kedua kondisi utama tersebut, tantangan seberat apa pun seperti angin kencang, ketakutan akan ketinggian, atau perasaan gagal sebelum menaklukkan, akan menguap dengan sendirinya.
"Saat awal meniti tali, kita dihadapkan pada pertarungan antara unsur positif dan negatif, antara bisa mencapai tujuan atau harus terjatuh dari ketinggian. Di sinilah konsentrasi, kesiapan mental, dan fisik diuji," beber Mulyana.
Apalagi bila punya keinginan untuk melakukan manuver dinamis dengan menggerakkan seluruh bagian tubuh dengan cepat seperti back bounce (menjatuhkan diri untuk kemudian bangkit kembali dengan cepat), backflip (membanting bagian belakang tubuh) atau pun buttflip perlu penyesuaian hingga 2,5 tahun.
"Jika semua dilakukan dengan benar, itu sangat fun," cetus Arief yang sempat berkali-kali mengalami patah tulang kering, atau engsel bahu bergeser.
"Seluruhnya bisa dilakukan di alam bebas, seperti perbukitan, pegunungan, taman kota, gedung tinggi, atau di antara dua pohon tinggi," kata Mulyana.
Atraksi pariwisata
Menurut Ceppy, olahraga ekstrem ini bisa menjadi atraksi pariwisata dalam lingkup perkotaan atau negara bila dikemas menarik.
"Di Bangkok atau Kuala Lumpur saja, kegiatan urban highline atau pun trackline sudah menjadi atraksi pariwisata yang terintegrasi dengan destinasi-destinasi wisata ikonik macam Petronas Twin Towers atau ruang terbuka publik," imbuh Ceppy.
"Üntuk menggelar atraksi trickline di lokasi-lokasi strategis perkotaan saja, harus minta izin keramaian kepada kepolisian atau untuk urban highline harus kulo nuwun kepada pemilik gedung," timpal Mulyana.
Alhasil, aktivitas slackline di Indonesia baru berkembang di beberapa kota seperti Bandung, Yogyakarta, Bali, dan Banjarmasin.
Adapun torehan sejarah baru urban highline yang tercipta di apartemen Sentra Timur Residence, Pulo Gebang, Jakarta Timur, merupakan hasil kerjasama Kompas.com, komunitas Pushing Panda Bandung, dan SuperAdventure.
Nantikan dan saksikan video kegiatan penciptaan rekor baru ini di situs www.superadventure.co.id