Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

REI Kukuh Memperjuangkan Kepemilikan Properti untuk Orang Asing

Kompas.com - 08/07/2015, 23:07 WIB
Arimbi Ramadhiani

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.om - Real Estat Indonesia (REI) kukuh memperjuangkan hak milik properti bagi orang asing. Usulan ini bukan tanpa alasan. Menurut Ketua Kehormatan REI Enggartiasto Lukita, jika keran kepemilikan properti asing dibuka, pemasukan untuk negara juga akan besar. Mengingat kondisi ekonomi di Indonesia masih lemah.

"Kita realistis melihat kondisi ekonomi. Pertumbuhan ekonomi maksimal kita 5 persen. Target pajak tidak tercapai," ujar Enggar saat berbincang dengan media di Graha CIMB Niaga, Jakarta, Rabu (8/7/2015).

Enggar melanjutkan, kondisi ini diperburuk, saat ekstensifikasi pajak tidak dilakukan. Penerimaan atas pajak pun makin menurun dan jauh dari ekspektasii. Dengan demikian, diperlukan arus dana masuk atau capital inflow yang baru untuk mendatangkan perekonomian negara yang lebih baik.

Saat orang asing mau berinvestasi di Indonesia, ada keterkaitannya dengan keinginan mereka untuk membeli properti.

"Kita mau jelaskan, maksud membeli properti bukan berarti seumur hidup, tetapi properti bisa diperjualbelikan dalam jangka panjang. Hak warga Indonesia saja tidak ada seumur hidup," kata Enggar.

Peraturan yang rumit

Hak kepemilikan properti di Indonesia sendiri sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA). Tujuan penerbitan UU saat itu, kata Enggar, adalah untuk membendung arus modal asing di Indonesia. Menurut dia, UU ini sudah ketinggalan zaman.

"Salah tidak UU tersebut dilahirkan? Tidak salah, kecuali kalau kita harapkan era itu terjadi sekarang," sebut Enggar.

Ia mencontohkan, saat Tiongkok mengubah UU, aliran ekonominya menanjak dan banyak masyarakat sejahtera. Oleh sebab itu, menurut Enggar, UUPA harus diamandemen, karena menghambat investasi Indonesia. Pasalnya, UUPA membagi hak atas tanah dan properti terlalu banyak dan menumpuk.

Saat ini, setidaknya macam-macam hak yang diatur antara lain hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak ulayat, hak pengelolaan lahan, dan hak milik.

"Aturannya begitu komplikasi. Dibagi dua saja, hak milik dan hak sewa dalam jangka waktu tertentu. Penerimaan negara pun jadi besar," ucap Enggar.

Tetap bangun sejuta rumah

Ketika baru-baru didengungkan bahwa pemerintah harus membuka keran properti untuk orang asing, anggota-anggota REI dianggap hanya berbicara untuk bisnis dan tidak ada keperdulian untuk ikut berpartisipasi membangun sejuta rumah.

Enggar membantah hal tersebut. Menurut dia, sejak REI berdiri sampai hari ini, kontribusi pembangunan untuk rumah sederhana, REI masih yang tertinggi.

"Dibandingkan dengan Perum Perumnas yang dananya modal negara dari APBN. Di mana pun, di dunia, untuk membangun rumah sederhana, negara harus ikut serta. Demikian juga dengan asosiasi lain, seluruh anggota REI Indonesia beri kontribusi," cetus Enggar.

Jika saat ini tingkat produksi rumah sederhana yang dibangun REI menurun, kata dia, adalah karena harga rumah harus dilepas mekanisme pasar. Semata-mata, anggota REI melihatnya dari sisi permintaan, bukan dari sisi pasokan. 

Di sisi lain, program sejuta rumah masih membutuhkan bantuan pemerintah terkait proses perizinan dan ketersediaan lahan.

"Proses perizinan masih seperti ini (rumit dan panjang) dengan biaya yang tinggi. Beban harga rumah pun tetap tinggi. Belum lagi, dari mana dapat tanah untuk membangun?" tandas dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com