JAKARTA, KOMPAS.com - Pembangunan apartemen di Jakarta, boleh sangat gencar. Namun sayangnya itu tak disertai pengelolaan profesional, transparan, dan akuntabel. Indikasinya, terlihat dari banyaknya pengaduan mengenai apartemen di sektor properti kepada Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).
Di antara sekian banyak masalah yang mendominasi pengaduan adalah dua masalah internal yakni penetapan tarif uang sewa, Iuran Pengelolaan Lingkungan (IPL) dan penggunaan serta pengelolaan fasilitas umum (fasum) dan fasilitas sosial (fasos).
Penetapan tarif sewa, dan IPL seringkali dilakukan secara sepihak oleh Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (P3SRS) tanpa melalui musyawarah dengan seluruh penghuni. Konsumen menuding P3SRS membawa kepentingan pengembang. Pasalnya, keanggotaan P3SRS juga terdapat unsur pengembang. Ada bisnis yang mereka kelola dalam keanggotaan P3SRS.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Properti Indonesia (PSPI), Panangian Simanungkalit, berpendapat, praktek penetapan uang sewa, IPL atau masalah internal lainnya yang melibatkan P3SRS bisa saja terjadi. Terlebih saat unit-unit apartemen tidak banyak terisi.
"Itu kan paguyuban. Mereka (pengembang) yang membuat seperti itu, seperti rukun tetangga (RT) saja. Menurut hukum, apartemen yang sudah dijual, setahun kemudian pengembang wajib mentransfer haknya kepada paguyuban," ujar Panangian kepada Kompas.com, Rabu (3/3/2015).
Sebagaimana tercantum dalam Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 15 Tahun 2007 Tentang Tata Laksana Pembentukan Perhimpunan Penghuni Rumah Susun Sederhana Milik (P3SRS), P3SRS wajib dibentuk. Anggota P3SRS adalah pemilik atau penghuni yang mendapat kuasa dari pemilik rumah susun.
Tujuannya, agar kepentingan pemilik dan penghuni yang berkaitan dengan pengelolaan kepemilikan bagian bersama, dapat diurus secara terstruktur dan tersistem. Salah satu tugas yang diemban oleh P3SRS adalah penetapan uang sewa.
Karena pembentukan P3SRS ini difasilitasi dan dikelola oleh pengembang, muncul pemikiran bahwa pengembang bisa sewaktu-waktu mengubah uang sewa atau pungutan lainnya kepada penghuni dengan mengintervensi P3SRS.
Dengan demikian, menurut Panangian, satu tahun setelah dibangun, unit apartemen merupakan tanggung jawab pemilik. Meski begitu, jika kondisi apartemen banyak yang kosong, maka pengembang secara otomatis memiliki otoritaslebih.
"Hak veto ada di pengembang. Kalau mayoritas milik pengembang, seperti perusahaan, itu punya andil. Pengembang mudah melakukan intervensi. Hukum memungkinkan itu," kata Panangian.
Jangan tunda
Panangian menegaskan, bukan berarti karena timbulnya banyak masalah atau perbenturan antara pemilik dan P3SRS, membuat masyarakat harus menunda membeli unit apartemen. Cara menyiasatinya adalah dengan membeli apartemen yang unitnya sudah terjual lebih dari setengahnya.
"Jangan beli apartemen yang didominasi pengembang. Misalnya dari 500 unit, yang laku cuma 200 unit. Ini pengembang punya kuasa mengatur dan mengintervensi yang 200 unit," jelas dia.
Panangian mengakui, dalam hal ini, peraturan pemerintah memang kurang sempurna. Menurut dia, perlu direvisi terkait pembentukan dan pengelolaan apartemen oleh P3SRS, supaya para anggota atau konsumen memiliki hak penuh meski apartemen tidak terisi setengahnya.
Dia menambahkan, konsumen juga berhak melaporkan jika menemukan kejanggalan-kejanggalan yang dilakukan oleh pengembang apartemen dalam aktivitas P3SRS.
"Kalau konsumen merasa dirugikan, ada intervensi pengembang, laporkan saja. Untuk unit-unit kondusif, yang menguasai konsumen. Kalau kebanyakan (unitnya) dihuni, atau apartemen laku semua, pengembang mana berani," tandas Panangian.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.