Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Makin Sulit... Beli Rumah Rp 700 Jutaan atau Apartemen Rp 400 Jutaan?

Kompas.com - 13/02/2015, 13:57 WIB
Latief

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Pertumbuhan harga rumah semakin jauh meninggalkan tingkat daya beli masyarakat. Masyarakat dihadapkan pada pilihan sulit untuk memiliki rumah.

Saat ini sebagian besar masyarakat menengah bawah yang bekerja di Jakarta setiap hari harus bolak-balik sebagai komunitas komuter. Mereka bekerja di Jakarta, lalu pulang ke rumah di Bekasi, Bogor, atau Tangerang, dan Depok.

"Bayangkan, berapa waktu dan biaya yang telah dikeluarkan dan tentunya membuat produktifitas kerja tidak efisien," ujar Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch (IPW) di Jakarta, Kamis (12/2/2015).

Ali mengatakan, masyarakat saat ini dihadapkan pada kenyataan bahwa bila ingin mempunyai hunian di dekat Jakarta, pilihannya adalah membeli rumah dengan harga minimal di kisaran harga Rp 700 juta. Alternatif lainnya adalah membeli apartemen seharga minimal Rp 400 jutaan. 

"Itu pun sudah sangat sulit, karena pasokannya terbatas. Kalaupun ada rumah di bawah harga tersebut, biasanya lokasinya tidak terlalu baik dan layak," ujar Ali.

Pilihannya memang sulit. Dengan pilihan apartemen seharga Rp 400 juta, penghasilan masyarakat sebagai konsumen seharusnya minimal Rp 10 juta per bulan. Itu pun belum diantisipasi dengan besaran uang muka senilai Rp 80 sampai Rp 120 juta yang harus disiapkan di awal pembelian atau cicilan.

"Lebih berat lagi kalau ingin membeli rumah dengan penghasilan Rp 10 juta per bulan, maka si konsumen bisa membeli rumah seharga Rp 400 jutaan, itu pun jaraknya sudah jauh dari Jakarta," katanya.

Pengeluaran bertambah

Saat ini, rumah-rumah di harga kisaran Rp 300 sampai Rp 400 juta memang banyak ditemui di kawasan Cileungsi, Parung, Gunung Putri, Bekasi Timur, Legok, Puspitek Serpong, dan wilayah lainnya di pinggiran Jakarta. Namun, faktor biaya produksi yang tinggi dan waktu tempuh begitu lama harus dipertimbangkan bila tetap bekerja di Jakarta.

"Itu juga yang membuat daya beli semakin tergerus, karena pengeluaran akan semakin bertambah, dan akhirnya akan membahayakan kemampuan daya cicil si konsumen," ujar Ali.

Umumnya masyarakat di kelas ini pun akan dipusingkan dengan beban biaya-biaya lain, misalnya kartu kredit, cicilan kendaraan bermotor, cicilan peralatan rumah tangga, dan lainnya. Tak heran, pilihan menyewa atau indekos atau kontrak menjadi pilihan favorit untuk para pekerja karyawan di Jakarta.

"Ini yang membuat golongan menengah yang baru naik kelas juga akan kesulitan membeli rumah," kata Ali.

Ali mengakui, fenomena meningkatnya segmen menengah memang terjadi. Hanya, hal itu tidak seiring dengan kemampuan daya beli untuk mengejar kenaikan harga rumah yang sangat tinggi dan pasokannya tidak tersedia.

Memang, ironis melihat masalah perumahan di Indonesia saat ini, terutama dibandingkan negara tetangga Singapura yang 85 persen rakyatnya telah memiliki hunian. Pemerintah mempunyai tugas lebih berat untuk menuntaskan masalah ini.

"Kalau semakin lama masalah ini tidak tertangani, semakin kusut juga untuk mengurai permasalahan perumahan ke depannya," ujar Ali. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com