Sementara menurut Ketua Umum Ikatan Ahli Perencana Indonesia (IAP) Bernardus Djonoputro, fenomena konversi atau alihfungsi kawasan di Jakarta, disebabkan PZ dan RDTR saat ini yang rentan terhadap risiko "mis-interpretasi" atau kesalahan menerjemahkan rencana ke dalam implementasi.
"Padahal RDTR dan PZ DKI Jakarta merupakan produk RDTR pertama di Indonesia, sebagai amanat UU 26/2007 tentang Penataan Ruang. Seharusnya Jakarta mengapresiasi produk ini dengan segala keterbatasannya. Justru, dengan perkembangan sekarang, perlu dilakukan usaha penyempurnaan dan pengendalian yang meneru," papar Bernardus.
Idealnya, lanjut Bernardus, RDTR dan PZ ini kemudian diterjemahkan kedalam Urban Design Framework dan Urban Design Guidelines dalam skala persil 1:1.000, sehingga proses implementasi bisa tepat-tafsir.
"Ada beberapa kelemahan yang kasat mata misalnya pemanfaatan ruang bawah tanah, zonasi kawasan eco-region 8 mil di kepulauan Seribu dan areal reklamasi serta pengaturan massa dan skyline per kawasan di koridor-koridor utama. Juga masalah gentingnya land subsidence rate seperti di kecamatan Penjaringan, yang menyebabkan produk rencana harus bisa mengantisipasinya," tuturnya.
Banyak juga ditemukan pengaturan zonasi yang sangat rentan diterjemahkan ketetapannya, maupun permainan perubahan warna dan pemutihan di lapangan. Bernaruds mencontohkan zona perumahan vertikal KDB Rendah Cempaka Putih, atau ona perkantoran, perdagangan dan jasa KDB Rendah.
"Harus ada ketetapan dalam skala detail per persil, dan diberikan arahan visualisasi koefisien lantai bangunan (KLB) dan massa bangunan per lot. Pasalnya, hal ini sangat rentan terhadap “tawar menawar” perubahan dan penalti (denda) di lapangan," tandas Bernardus.
DKI Jakarta, imbuhnya, mempunyai tantangan besar dalam menyempurnakan 44 RDTR dan kawasan khusus dan strategisnya. Proses menuju ke Urban Design Framework dan Guidelines harus berjalan seiringan dengan proses partisipasi masyarakat."Untuk itu, Gubernur DKI harus segera merevisi satu kata dalam RTRW Jakarta 2030, yang sudah salah kaprah dan sama sekali tiak tepat dalam visi nya sebagai kota dunia. Perubahan kata shareholder untuk pemangku kepentingan, yang secara tidak beralasan dipertahankan oleh penyusunnya," kata Bernardus.
Kata share holder, sangat tidak masuk akal, karena memberikan semangat kapitalistik dan pro modal. Besarnya saham, jangan diartikan hanya besarnya tanggung jawab dan kepemilikan. Namun semakin besar saham satu pihak, maka hak veto dan pengaruh pihak tersebut terhadap kebijakan pun semakin besar.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.