JAKARTA, KOMPAS.com - Memasuki bulan kedua pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, tuntutan masyakarat semakin menguat. Salah satunya adalah tuntutan atas janji pemerintah untuk membangun rumah rakyat sebanyak 10 juta unit hingga 2019.
Menurut Ketua Asosiasi Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (APERSI), Eddy Ganefo, hal tersebut sulit diwujudkan melihat situasi yang ada saat ini. Meski didukung kebijakan pengalihan subsidi bahan bakar minyak (BBM), pembangunan rumah sebanyak itu, tidak akan terealisasi.
"Kalau janjinya, bagus. Tapi, kemarin dana subsidi BBM untuk perumahan hanya dikasih dua triliun rupiah, sedangkan APBN Rp 5,1 triliun," kata Eddy kepada Kompas.com, Senin (22/12/2014).
Untuk bisa mencapai 10 juta unit rumah sampai 2019, berarti pemerintah harus membangun dua juta unit rumah per tahun. Eddy ragu, dengan jumlah anggaran sebesar Rp 7 triliun, pemerintah bisa menutup pembangunan dua juta unit rumah setiap tahunnya.
"Pembangunan fisik rumah tapak untuk dua juta unit rumah, butuh Rp 100 triliun. Rumah vertikal, lebih besar lagi," kata Eddy.
Oleh sebab itu, dia menyarankan agar kebijakan pembangunan tersebut dibarengi dengan kebijakan lain yang lebih ekstrim. Eddy mencontohkan, pertama, pemerintah sebaiknya menambah dana APBN untuk rumah susun sewa dan rumah subsidi.
Kedua, pemerintah juga harus mengembalikan tugas Perum Perumnas sebagai penyedia rumah bersubsidi bagi rakyat. Untuk kebijakan ini, pemerintah terlihat sudah mulai melakukannya.
Ketiga, menurut Eddy, selain Perumnas, BTN juga harus kembali pada fokusnya.
"BTN kembali fokus pada pemberian KPR rumah subsidi atau jika tidak, harus dibentuk bank baru untuk menjadi penyedia rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah," kata Eddy.
Dia menambahkan, cara terakhir untuk mewujudkan 10 juta rumah dalam kurun waktu lima tahun adalah dengan menjamin penyediaan lahan murah. Saat ini, harga rumah sulit ditekan karena harga lahan sendiri sudah tinggi, khususnya di kota-kota besar seperti DKI Jakarta.
Tidak hanya Eddy yang meragukan janji pemerintahan. Sebelumnya, Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda, juga mengutarakan hal serupa.
Menurut Ali, seharusnya konsep perumahan rakyat saat ini lebih maju dari sebelumnya dengan memikirkan pilar-pilar perumahan rakyat dan road map yang jelas.
"Saat ini tidak jelas road map perumahan nasional, karena kebijakan yang diambil tambal sulam. BTN yang ditunjuk sebagai bank yang fokus perumahan dan dibentuknya Perumnas dulu merupakan dasar yang kuat bagi perumahan. Lucunya, sekarang visi Perumnas malah tidak berjalan semestinya karena dituntut profit sebagai bagian dari BUMN. BTN juga selalu diganggu dengan isu akuisisi," kata Ali.
Ali mengatakan bahwa konsep lingkungan siap bangun dan kavling siap bangun sudah harus dipikirkan pemerintah sebagai model perumahan nasional. Ironisnya, menurut dia, konsep perumahan nasional saat ini malah berjalan mundur.
"Target pemerintah membangun 10 juta unit perlu dipertanyakan, karena saat ini selain tidak ada bank tanah dan tata ruang di masing-masing pemda yang belum jelas untuk perumahan, berdasarkan historikalnya di Indonesia setiap tahun itu hanya bisa memasok 100 ribu-150 ribu unit rumah, dan itu pun bukan pemerintah yang bangun, tapi swasta," pungkas Ali.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.