Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jokowi Prioritaskan Tol Laut, Bagaimana Nasib Infrastruktur Darat?

Kompas.com - 31/10/2014, 07:00 WIB
Hilda B Alexander

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Konsep kemaritiman dalam bentuk tol laut, yakni pembangunan mengintegrasikan sistem logistik laut dan darat yang tengah digenjot oleh Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, menyisakan pertanyaan besar akan nasib pembangunan infrastruktur darat, khususnya infrastruktur jalan. Padahal, Indonesia masih mengalami krisis infrastruktur jalan.

Menurut World Economic Forum 2013-2014, indeks daya saing kualitas infrastruktur jalan di Indonesia masih berada pada posisi 61 dari 148 negara. Demikian halnya dengan indeks kinerja logistik yang dipengaruhi infrastruktur jalan.

Berdasarkan data Bank Dunia 2014, Indonesia berada pada peringkat 53 dari 155 negara. Untuk mewujudkan konsep tol laut tersebut, menurut Ketua Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional, Tri Widjajanto, harus ditunjang infrastruktur darat. Tak hanya jalan, namun juga listrik dan air.

"Pembangunan tol laut didukung oleh 24 pelabuhan laut dalam (deep sea port). Hub port-nya ada dua, Kuala Tanjung di sebelah barat dan Bitung di timur. Nah, pelabuhan-pelabuhan ini tentu saja membutuhkan akses jalan, listrik, dan air," ujar Tri kepada Kompas.com, Kamis (30/10/2014).

Namun demikian, Tri optimistis konsep pengembangan tol laut dapat berjalan seiring pembangunan infrastruktur jalan di darat. Pasalnya, Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) juga mencantumkan pembangunan hub port di barat dan di timur.

"Jadi, ini akan saling melengkapi. Pak Jokowi juga tentu saja sudah memikirkan dengan matang mengenai tol laut dan infrastruktur jalan," kata Tri.

Hanya, lanjut Tri, kendala utama pembangunan infrastruktur tersebut adalah dana. Dalam rancangan pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) periode 2014-2019 terkait infrastruktur, pemerintah membutuhkan dana setidaknya 550.368 miliar dollar AS atau setara Rp 6.663 triliun.

Dana investasi tersebut diperlukan untuk membangun jalan sebesar 107,016 miliar dollar AS, rel kereta 23,352 miliar dollar AS, transportasi perkotaan sebesar 13,944 miliar dollar AS, transportasi laut 47,292 miliar dollar AS, dan feri-ASDP 7,644 miliar dollar AS.

Selain itu, kebutuhan investasi tersebut juga diperlukan untuk pembangunan infrastrukur penerbangan sebesar 15,288 miliar dollar AS, listrik sebesar 9,720 miliar dollar AS, gas dan energi sebesar 44,940 dollar AS, sumber daya air 91,644 miliar dollar AS, sarana air bersih dan sampah 55,944 miliar dollar AS, perumahan 32, 256 miliar dollar AS dan IT 20,323 miliar dollar AS.

Terobosan

Untuk mengatasi kendala dana tersebut, lanjut Tri, harus dilakukan berbagai terobosan baru. Beberapa terobosan di antaranya adalah melibatkan peran BUMN, BUMD, dan swasta melalui skema kerjasama pemerintah swasta.

"Namun, sebelum opsi kerjasama pemerintah-swasta ini dijalankan, harus dilakukan studi kelayakan secara finansial dan ekonomi," ujarnya.

Skema kedua adalah kerjasama pemerintah-swasta dengan dukungan pemerintah. Cara ini ditempuh untuk proyek yang layak secara ekonomi, tetapi tidak terlalu menguntungkan secara finansial.

Tri menuturkan, dukungan pemerintah dalam skema ini adalah dana pembebasan tanah, konstruksi, dan pemberian dana talangan. Cara ketiga adalah pendanaan campuran. Ini ditempuh bila proyek yang dikaji layak secara ekonomi tetapi tidak secara finansial. Dalam hal ini, pemerintah sepenuhnya membangun proyek tersebut, sedangkan operasional dan pemeliharaannya dilakukan oleh BUMD, BUMN atau swasta. Nah, bagaimana pemerintahan Jokowi akan menjawab hal ini?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com