JAKARTA, KOMPAS.com - Tanah di Indonesia memiliki variasi pada tingkat kepadatannya, yakni lunak dan keras. Tetapi, kebanyakan tanah di Indonesia lunak.
Demikian dikatakan Ketua Himpunan Alhi Konstruksi Indonesia (HAKI), Dradjat Hoedajanto, pada seminar Hari Bangunan Indonesia, Kamis (30/10/2014). Tidak hanya itu, Indonesia juga masuk wilayah rawan gempa dan baik pelaku konstruksi maupun pemerintah, kurang memperhatikan aspek tersebut saat membangun suatu gedung.
"Aspek geologi dan geoteknik ini seringnya tidak dipahami," kata Dradjat.
Dradjat mengutarakan, kebanyakan pelaku konstruksi hanya bertumpu pada UU No 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung. Menurut dia, hal itu tidak cukup kuat dijadikan dasar pembangunan gedung yang tahan terhadap gempa.
"Risiko gempa lebih tinggi dibandingkan ketentuan. Minimal dua kali lebih besar daripada (UU) Tahun 2002. Otomatis, hampir lebih dari 75 persen bangunan bisa roboh," tutur Dradjat.
Sementara itu, pada peraturan SNI 1726:2012, yakni tata cara perencanaan ketahanan gempa untuk struktur bangunan gedung dan non-gedung, Dradjat menganggap ketentuan tersebut masih kurang menjamin suatu gedung akan kuat dihantam gempa besar. Selama ini, banyak terjadi kegagalan pada bangunan akibat gempa.
Sayangnya, hal tersebut tidak dijadikan pelajaran, baik oleh pemerintah maupun para pelaku konstruksi. Bangunan yang sempat terkena gempa dibangun kembali, suatu ketika dihantam gempa lagi, kerusakan akan tetap terjadi.
"Padahal, gempa tidak bisa diketahui kapan akan datang dan seberapa besar kekuatannya," ujarnya.
Peraturan negara maju
Dradjat mengatakan, membuat gedung yang sama sekali tidak rusak pada saat gempa merupakan hal yang mustahil. Tetapi, ada cara bisa dilakukan untuk meminimalisasi dampak negatif gempa terhadap gedung.
"Namanya struktur bangunan terkait tahan gempa, artinya dia boleh rusak, tapi jangan ambruk sehingga penghuni atau yang di sekitarnya tetap selamat," jelas Dradjat.
Drajat pun mengacu pada negara maju, misalnya Amerika Serikat. Di sana, gedung-gedung secara rutin dilakukan penguatan setiap ada peraturan terbaru. Jika Indonesia tidak segera mengikuti langkah tersebut, maka gedung-gedung, khususnya di Jakarta, hanya tinggal menunggu datangnya gempa lantaran tidak pernah ada peninjauan ulang kelayakan gedung.
"Tiap bangunan kan punya izin. Izin laik pakai, laik fungsi atau izin membangun. Izin membangun itu tiap lima tahun harus di-review, apakah dibolehkan lagi untuk tetap berfungsi," katanya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.