Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 15/03/2014, 12:08 WIB
Penulis Tabita Diela
|
EditorLatief
JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Dinas Pelayanan Pajak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Iwan Setiawandi mengatakan, kenaikan Nilai Jual Objek Pajak atau NJOP di DKI Jakarta adalah hal wajar. Sebelumnya, ketika wewenang mengatur NJOP berada di tangan Direktorat Jenderal Pajak, NJOP DKI Jakarta belum pernah disesuaikan sejak 2010 lalu. Namun, kenaikan NJOP pun punya konsekuensi tersendiri.

Menurut Ketua Kajian Studi Pemukiman Universitas Gadjah Mada (UGM) Budi Prayitno, sebenarnya masalah pertanahan, termasuk naiknya NJOP, bisa ditanggulangi dengan adanya kebijakan bank tanah. Namun, sungguh disayangkan, tanpa pengendalian secara tegas, bank tanah pun rentan diselewengkan.

"Baru saja saya rapat dengan Pak Oswar Mungkasa dan tim (Direktur Pertanahan dan Penataan Ruang) terkait dengan penyusunan RPJMN Pertanahan. Yang muncul dalam diskusi itu terkait beberapa hal dan lebih khusus tentang bank tanah," ujar Budi kepada KOMPAS.com, Jumat (14/3/2014).

Ihwal konsekuensi yang harus dihadapi perencanaan kota menyangkut kenaikan NJOP ini, Budi mengatakan, DKI Jakarta sebetulnya sudah punya rencana. Pengadaan lahan guna membangun menara rusunawa dan kampung deret sudah masuk dalam agenda Pemprov DKI Jakarta. Hanya, dalam pola berpikir lebih luas, kebijakan bank tanah harus tetap digalakkan.

"DKI Jakarta melalui PT Jakarta Propertindo sudah mengagendakan dalam salah satu programnya untuk mencadangkan lahannya guna menyiapkan pembangunan beberapa tower rusunawa maupun untuk penataan kampung deretnya," ujarnya.

"Kebijakan bank tanah memang harus menjadi salah satu kebijakan strategis bagi pemenuhan hak bermukim, khususnya bagi MBR dan warga miskin," tambahnya.

Budi menambahkan, ada dua bentuk bank tanah, yaitu bank tanah umum (general land bank) dan bank tanah khusus. Bank tanah umum mengelola tanah dalam skala besar untuk tujuan non-profit atau demi tujuan perumahan publik dan sosial). Saat ini bank tanah umum sudah dilakukan di Swiss, Belgia, dan Belanda.

Sementara itu, bank tanah khusus akan mengelola tanah dalam skala kecil, yaitu untuk tujuan profit. Hal ini sudah dilakukan di Amerika Serikat. Lantas, bagaimana dengan Indonesia atau DKI Jakarta khususnya?

Budi mengatakan, Indonesia masih memerlukan peran pengendalian dari pemerintah pusat, meskipun kewenangan ada di daerah. Alasanya, hal ini sangat berisiko terjadinya penyimpangan.

"Seperti yang pernah terjadi di Samarinda tahun 2004, di mana bank tanah diindikasikan modus baru untuk penyelewengan sampai senilai Rp 2 triliun," kata Budi.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Video rekomendasi
Video lainnya


Rekomendasi untuk anda
27th

Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!

Syarat & Ketentuan
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Verifikasi akun KG Media ID
Verifikasi akun KG Media ID

Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.

Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.

Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com