Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pengembang... Masih Berani Bilang Properti yang Dijual Itu Bebas Banjir?

Kompas.com - 13/01/2014, 11:03 WIB
Latief,
Tabita Diela

Tim Redaksi

KOMPAS.com — Jabodetabek kembali dikepung banjir, khususnya wilayah Jakarta. Hujan yang mengguyur Jakarta dan sekitarnya sejak Sabtu (11/1/2014) malam hingga Minggu (12/1/2014) merendam sejumlah wilayah Ibu Kota.

Berdasarkan data dari Pusat Pengendalian Operasi BPBD Jakarta, sebanyak 11.972 warga Jakarta menjadi korban banjir tersebut.

Bambang Surya Putra, Kasie Informatika BPBD DKI, menjelaskan, jumlah tersebut terdiri dari 3.742 kepala keluarga di 233 RT, 72 RW, dan 28 kelurahan. Dari jumlah tersebut, sebanyak 1.545 warga mengungsi di 23 pengungsian dekat titik banjir.

"Berdasarkan informasi dari BMKG, kondisi ini diperkirakan masih akan berlangsung hingga besok hari (Selasa, 14/1/2014), khususnya pada sore serta malam hari," ujarnya melalui pesan singkat ke wartawan, pagi ini.

Banjir di Jakarta tentu saja masih mengancam. Tak hanya perumahan yang banyak terendam banjir. Kawasan perkantoran dan bisnis pun demikian. (Baca: Sulitnya Masuk Jakarta...).

Bisa dikatakan, Senin (13/1/2014) pagi ini akses di sejumlah titik menuju Jakarta juga lumpuh. Kalau sudah begini, masihkah pengembang properti membuat jargon bahwa properti yang dijualnya bebas banjir? Apakah akses pergi dan pulang ke rumah yang mereka jual bebas banjir?

KOMPAS IMAGES/VITALIS YOGI TRISNA Situasi banjir yang melanda perumahan Pondok Gede Permai, Jatiasih, Bekasi, Jumat (18/1/2013). Banjir yang merendam 3 RW dan 26 RT ini memiliki kedalaman 2 hingga 3 meter, diakibatkan oleh meluapnya Kali Bekasi yang merupakan titik temu antara aliran Kali Cileungsi dan Cikeas.
Menyetir pemerintah

Untuk diketahui, 70 persen perkembangan kota itu dipengaruhi oleh aksi pengembang. Artinya, kalau pengembang benar-benar concern terhadap lingkungan, kota dapat menyelesaikan masalah lingkungan dengan tepat.

Namun, yang terjadi, peran pemerintah mengatur regulasi dan menata ruangnya tidak berjalan secara ketat. Banyak pengembang tidak mengikuti rencana pengembangan itu.

Beberapa pengembang hanya memenuhi analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). Itu pun terbatas pada "tidak menyebabkan banjir" atau "menanam pohon". Kenyataannya? 

Banjir di Kampung Melayu-Tebet. Sumber: akun Twitter ?@ivvaty.
Memang, alih-alih menjalankan peraturan, banyak pengembang properti kini malah terkesan "menyetir" pemerintah. Mereka mengajukan rencana pembangunan yang kemudian dilegalisasi oleh pemerintah. Mereka mengantongi izin, mendapatkan fasilitas, serta akses dari pemerintah. Padahal, belum tentu proyek tersebut mampu memenuhi ketiga dimensi amdal, yaitu sosial, ekonomi, dan ekologi.

Boleh jadi, praktik-praktik yang berlaku di lapangan saat ini masih menunjukkan adanya ketidaktegasan pemerintah dalam mengatur regulasi, khususnya menyangkut tata ruang. Seperti pernah dikatakan pengamat perkotaan Nirwono Joga kepada Kompas.com, bahwa sampai saat ini ia belum pernah melihat penghentian proyek, meski ketiga amdal tersebut belum terpenuhi oleh pengembang.

Tak syak. Ketidaktahuan publik membawa berbagai kebijakan timpang atau "akal-akalan" oknum tertentu mampu menjadi regulasi sah sehingga praktiknya sangat merugikan masyarakat. Ya, banjir Jakarta inilah salah satu contohnya!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau