Menurut pengamat tata ruang dari Universitas Trisakti, Yayat Supriatna, kehadiran mal dan hotel dapat menggerakkan sirkulasi manusia menjadi lebih aktif melakukan transaksi ekonomi dan bisnis.
"Mal dan hotel merupakan salah satu penggerek perekonomian sebuah kawasan di mana lokasi keduanya berada," ujar Yayat kepada Kompas.com, Rabu (11/12/2013).
Namun demikian, sebelum properti komersial tersebut dibangun, harus melewati proses atau tahapan perizinan, mulai izin prinsip, izin AMDAL, izin bangunan dan peruntukan lahan. Lebih penting lagi, properti tersebut tidak dikembangkan di sembarang lokasi.
Yayat menjelaskan, Pemerintah Kota sebaiknya menggeser lokasi pembangunan mal dan hotel ke sentra primer ekonomi baru yang dirancang sedemikian rupa dengan kelengkapan jalur pedestrian. Cara tersebut akan menarik pengguna kendaraan untuk berjalan kaki ke mal dan hotel.
"Interaksi seperti ini harus tercipta pada sebuah pengembangan mal dan hotel. Selama ini selalu terjadi, orang ke pusat belanja atau hotel pasti menggunakan kendaraan. Jelas saja, kawasan di sekitarnya menjadi lebih padat. Terlebih bila mal dan hotel yang didatangi tidak memiliki alokasi ruang parkir yang luas dan memadai," jelas Yayat.
Selain itu, Pemerintah Kota juga harus menyediakan transportasi publik yang memadai sehingga menarik pengguna kendaraan untuk berpindah memanfaatkan trasportasi publik tersebut. Cara lain yang bisa ditempuh adalah pengenaan tarif parkir yang mahal. Dengan tarif tinggi, pengunjung akan berpikir ulang menggunakan kendaraannya hanya sekadar ke mal atau hotel.
Bagi pengembang, Yayat menyarankan agar membangun mal dan hotel yang terintegrasi dengan jalur dan moda transportasi publik (transportation oriented development/TOD). Mereka boleh membuat kegiatan usaha namun harus disesuaikan dengan keadaan di sekitarnya.
"Harus ada traffic management dan semacamnya. Oleh karena itulah diperlukan Analisa Mengenai Dampak Lingkungan atau AMDAL lalu lintasnya," jelas Yayat.
Mereka, lanjut Yayat, juga diwajibkan menciptakan jalu masuk-keluar (in and out access) yang tidak mengganggu sirkulasi kendaaan di sekitarnya.
Moratorium mal
Jika semua cara di atas mental atau tidak mempan, dan Jakarta tetap didera kemacetan luar biasa, mau tak mau Pemerintah Kota harus menegakkan peraturan lebih tegas. Sanksi harus dijalankan dan konsisten.
Sanksi tersebut berupa pencabutan izin usaha. Implikasinya, pengembang yang bersangkutan tidak akan diizinkan lagi untuk membangun di lokasi mana pun.
"Sanksi berikutnya, adalah pengenaan pajak kemacetan. Sanksi semacam ini bisa dijatuhkan apabila keberadaan pusat belanja tersebut menunjukkan indikasi bangkitan beban pergerakan atau menambah padat arus kendaraan di sekitarnya," kata Yayat.
Namun, jauh lebih efektif lagi bila Pemerintah Kota sebagai penyelenggara pengelolaan kota konsisten menjalankan moratorium pembangunan pusat belanja baru. Toh, sayangnya, hingga kini moratorium tersebut tak berdampak mengurai kemacetan. Bahkan, mal baru tetap semakin marak dibangun meski moratorium sudah diberlakukan sejak Oktober 2011 silam.
Kini, dengan kondisi kemacetan paling parah, Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo kembali mengangkat wacana moratorium pembangunan mal. Bahkan, moratorium tersebut dijalankan dengan menahan permohonan izin pembangunan pusat belanja.
Jokowi mengungkapkan tidak menandatangani izin pembangunan 14 mal di Jakarta. Alasannya, saat ini sudah terdapat 173 mal dan paling banyak di dunia.
"Sekarang sudah saya stop," kata Jokowi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.