KOMPAS.com - Skeptisisme komunitas pencakar langit internasional terhadap kemampuan perusahaan China Board Group membangun menara tertinggi di dunia, dianggap angin lalu. Pekan ini, China Board Group menjawab keraguan itu dengan seremoni peletakan batu pertama sekaligus mengabarkan pada dunia, bahwa secara resmi pembangunan Sky City telah dimulai. Menara ini mencakar langit dengan ketinggian 838 meter.China Board Group yang berbasis di Changsa, menargetkan konstruksi Sky City hanya dalam waktu sembilan bulan dengan menggunakan teknik pra-fabrikasi. Dana yang disiapkan guna merealisasikan proyek ini sebesar 855 juta dollar AS atau setara Rp 8,7 triliun. Jika keseluruhan konstruksi rampung, maka Sky City ini akan menjulang 10 meter lebih tinggi dari menara tertinggi di dunia saat ini,
Burj Khalifa di Dubai. Burj Khalifa sendiri membutuhkan waktu lebih dari 5 tahun masa konstruksi dan menelan dana 1,5 miliar dollar AS (Rp 15,3 triliun). Sky City akan berisi perkantoran, apartemen, ruang ritel, sekolah, rumah sakit, dan taman vertikal yang cukup untuk "memberi makan 30.000 penduduk". Kehadirannya diharapkan dapat menjadi solusi masalah kepadatan penduduk dan mengurai kemacetan lalu lintas.
Chairman China Board Group Zhang Yue mengatakan, masyarakat tak harus naik kereta api atau mengendarai mobil hanya untuk berangkat kerja. Sky City sanggup menggantikan peran 2.000 mobil dari jalan raya yang digunakan masyarakat dan sekaligus memenuhi kebutuhan mereka.
Selain menjawab keraguan dunia, China Board Group juga memenuhi ekspektasi para ahli konstruksi. Satu di antaranya adalah Yin Zhi, profesor arsitektur Universitas Tsinghua, yang menyangsikan kekuatan bangunan dari terpaan angin dan gempa bumi. Bahkan Zhi melabeli Sky City sebagai menara pre-fab "gila".
China Board Group memastikan menara yang terdiri atas 202 lantai tersebut telah sepenuhnya diuji dalam wind tunnels dan dapat bertahan dari goyangan gempa berkekuatan 9 skala richter.
Tak cukup sampai di situ, sama halnya dengan rencana pembangunan Signature Tower di Jakarta yang mengundang pendapat pro dan kontra, di luar isu-isu rekayasa teknologi, pembangunan Sky City juga menimbulkan kontroversi. Masalah sosial dan budaya dalam kehidupan masyarakat China akibat pengembangan ini menjadi sorotan tajam.Pihak yang kontra berpendapat bahwa o
bsesi menjadi nomor satu sebenarnya merupakan manifestasi kurangnya kepercayaan diri. Eropa dan Amerika Serikat, meski secara ekonomi kuat, namun tidak liar mengejar 'gedung tertinggi'. Mereka tidak perlu membuktikan kekuatan perekonomian melalui 'menara tertinggi' dan 'gedung terbesar' karena mereka sudah memenangkan rasa hormat dan kekaguman dari negara-negara kecil.
Sementara pihak yang mendukung Sky City beranggapan tekni-teknik pre-fab yang diadopsi bisa membuat pembangunan gedung-gedung tinggi lebih efisien dan ekonomis.
"Tidak seperti banyak pencakar langit lainnya, Sky City adalah proyek bagus yang jika berhasil, dapat mengubah dunia konstruksi gedung tinggi menjadi lebih berkelanjutan karena menggunakan sedikit bahan bangunan untuk mencapai hasil yang maksimal," ujar Adam Minter dalam ulasannya di Bloomberg.
Sebelumnya, publik China sempat meragukan keseriusan China Board Group ini. Pasalnya, mereka kerap menunda kepastian pelaksanaan konstruksi. Pernyataan yang diberikan pun simpang siur dan tak berani menyatakan target awal konstruksi.China Board Group sendiri merupakan
perusahaan besar dengan sumber daya yang luas. Per
usahaan ini dikenal sebagai produsen mesin pengatur suhu udara (
air conditioner) dan pemasar produk pra-fab di seluruh dunia. Sebelum Sky City, mereka
membangun replika "
chateau" dan piramida Perancis di Changsha.
Tahun lalu, mereka sukses membuat sensasi dengan membangun gedung 30 lantai dalam 15 hari.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.