Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jakarta Bisa Menjadi "Smart City", Asalkan....

Kompas.com - 17/06/2013, 14:39 WIB
Hilda B Alexander

Penulis


KOMPAS.com -
Perkembangan sebuah kota tak hanya dilihat dari pembangunan secara fisik seperti gedung-gedung bertingkat, pusat belanja atau perkantoran. Kota harus juga dapat mengatasi permasalahan meledaknya populasi akibat migrasi urban. Alih-alih mendidik para urban hidup modern dan beradab, malah menjamur permukiman kumuh. Ini adalah masalah terbesar yang dihadapi kota-kota yang tengah berkembang saat ini.

Menurut Jonathan Hursh, Direktur Eksekutif dan Pendiri INCLUDED, dalam artikelnya tentang "Smart Cities" di World Economic Forum, ketika migran pindah ke kota, mereka mencari kehidupan yang lebih baik bagi anak-anak mereka dan kesempatan untuk belajar dan bekerja.

Tapi apa yang mereka temukan seringkali jauh dari apa yang mereka bayangkan. Ketika tiba di kota, mereka berada di tepi perbatasan peradaban. Hal ini dapat terjadi karena dua hambatan utama: informalitas dan instabilitas.

Informalitas menunjukkan mereka tidak diterima. Ini berarti mereka harus memiliki pekerjaan informal, pendidikan, kesehatan dan perumahan. Sementara instabilitas mengatakan, keberuntungan mereka berada di kota akan menguap begitu saja. Tentu, hal ini dapat mengurangi motivasi mereka untuk berinvestasi dan membangun.

Kedua hal tersebut dapat menjadi penyebab tumbuhnya permukiman-permukiman kumuh, masalah sosial dan ekonomi serta terganggunya masa depan. Jika tak segera diatasi, permukiman kumuh kaum migran ini dapat menjadi sumber kerusuhan dan kemiskinan kota. Dan mereka berisiko kehilangan haknya. Karena selama ini kelompok pinggiran masih dianggap sebagai warga negara kelas dua.

Untuk itulah diperlukan pengembangan konsep kota pintar (smart city). Menurut pengamat perkotaan Marco Kusumawijaya, sebuah kota pintar haruslah dapat menjadi tempat untuk semua. Kota adalah sumber kehidupan di mana semua orang memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk dapat tumbuh dan berkembang sebagai manusia seutuhnya.

"Namun, sebuah kota juga harus dapat mengatur warganya agar tercipta kehidupan yang nyaman, aman, ekonomis dan secara cerdas dapat menyelesaikan kendala-kendala perkotaan dengan efektif dan efisien. Untuk itulah gagasan kota cerdas atau kota pintar, lahir," ujar Marco kepada Kompas.com di Jakarta beberapa waktu lalu.

Dalam konteks Jakarta, lanjut Marco, di mana Tata Ruang-nya sangat tidak adil, harus dimulai dengan aksi "memulihkan". Selama ini, Jakarta dibangun berbasis paradigma yang merusak dengan kapitalisme sebagai pengatur. Jadi, pemulihan ruang-ruang kota Jakarta ini harus segera dilakukan dengan konsep "lestari", bukan hanya "keberlanjutan" (sustainable).

Marco menyarankan, agar penyelenggara perkotaan harus mampu membongkar asumsi tentang pembangunan kota selama ini. Mereka adalah pelayan publik. Bangunlah Jakarta dengan sesuatu yang benar. Rancang dengan konsep yang mendekatkan diri dengan alam. Orientasi bangunan, jalan dan lay out kota harus disesuaikan dengan logika alam seperti arah angin, matahari dan lain-lain.

Namun, di atas semua itu, yang terpenting adalah semua warganya harus dapat mengakses dan menikmati fasilitas kota secara mudah dan murah. "Jika paradigmanya berubah, permukiman kumuh dan "warga negara kelas dua", tidak akan ada," imbuh Marco.

Kota pintar melahirkan cara pandang berbeda. Bagaimana sebuah kota pintar juga menjadi kota yang inklusif? Para pemimpin kota pintar harus menganggap warganya sebagai aset. Mereka membangun kota-kota, menumbuhkan ekonomi, dan menyediakan keragaman.

Kota pintar memberikan warganya kesempatan kerja yang aman, pendidikan formal, akomodasi, transportasi yang handal dan kesehatan yang mendasar. Pemerintahnya juga menyediakan lingkungan yang memungkinkan warganya dapat berkembang dan berintegrasi secara sukarela, menjadi bagian dari struktur sosial kota.

Sementara itu, perancang kota sekaligus pengamat transportasi Yayat Supriatna, mengatakan, Jakarta bisa menjadi kota pintar jika konsep pengembangannya terintegrasi. "Termasuk integrasi dalam hal transportasi. Caranya, percepat pembangunan angkutan massal dan perbesar anggarannya," ujar Yayat kepada Kompas.com, di Jakarta, Minggu (16/6/2013).

Saat ini, sepertiga penduduk kota tinggal di daerah kumuh informal. Kebanyakan di pinggiran. Di sinilah peran para pengambil keputusan (penyelenggara perkotaan), arsitek, perancang kota, perusahaan swasta dan pebisnis, dibutuhkan. Mereka harus dapat menciptakan sebuah strategi yang jelas untuk mengintegrasikan masyarakat dengan latar belakang beragam ini ke dalam satu kota.

Seperti tulisan Doug Saunders yang berjudul Arrival City, permukiman kumuh sejatinya dapat menjadi tempat berawalnya perubahan paling penting dan mengejutkan dalam sebuah kota. Karena kota telah menjadi ruang hidup manusia.

"Kota adalah tempat di mana kita hidup, bernapas dan mentransaksikan ide-ide segar. Mari kita membuat kota yang benar, mari kita membuat kota menjadi lebih baik dan adil. Mari kita membuat sebuah kota yang inklusif, kota untuk semua," ujar Jonathan.


Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com