Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Komersialisasi Buperta Cibubur Berpotensi Rugikan Negara

Kompas.com - 01/06/2013, 19:19 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com -  Isu komersialisasi Bumi Perkemahan Graha Wisata (Buperta) dan Taman Rekreasi Wiladatika (TRW), Cibubur, kembali mengemuka pasca salah satu pengembang besar Nasional melansir rencana strategis mereka pada 8 Mei 2013. Pengembang ini akan membangun sejumlah superblok alias properti multifungsi berisi hotel, apartemen, pusat belanja, ruang konvensi dan taman rekreasi di beberapa lokasi. Termasuk di antaranya di kawasan Cibubur.

Adalah Kwartir Nasional Gerakan Pramuka (Pramuka) yang berkeinginan meningkatkan pendapatan demi menambal biaya operasional yang kian hari semakin membengkak. Mereka harus mengelola dua aset utama yakni Buperta dan TRW Cibubur seluas total 240 hektar. Jika hanya mengandalkan penghasilan selama ini dari hasil usaha unit bisnis, bantuan luar negeri dan pajak penghasilan karyawan, tidak akan mencukupi.

Selama 2012 saja, sesuai dengan Laporan Realisasi Penerimaan dan Pengeluaran Keuangan Kwarnas Gerakan Pramuka, jumlah pengeluaran mencapai Rp 12,606 miliar. Angka ini melonjak ketimbang tahun sebelumnya yang hanya mencapai Rp 6,545 miliar. Sementara pendapatan 2012, Pramuka membukukan angka Rp 12,839 miliar. Meroket dari tahun sebelumnya yang hanya berhasil meraup senilai Rp 9,185 miliar. Nah, melambungnya biaya operasional ini yang menstimulasi pengurus Pramuka mencari cara agar dapat menambah penghasilan mereka.

Menurut pegiat Gerakan Peduli Aset Pramuka (GPAP), Rachmad Junizar, jalan pintas pun ditempuh pengurus Pramuka. Mereka memilih opsi "mengkomersialisasi" aset Pramuka. Tahun 2006 mereka membuat perjanjian kerjasama (PK) berskema build, operate, transfer (BOT) dengan PT Prima Tangkas Olahdaya (PTO) selama 30 tahun. Dalam PK bernama Penataan, Pengembangan dan Pengelolaan Buperta Cibubur No. 13, tertanggal 20 November 2006 tersebut Pramuka akan menerima dana kontribusi dari PTO sebesar Rp 125 juta per bulan selama masa berlakunya perjanjian kerjasama.

"PK tersebut gagal direalisasikan, karena tidak disetujui Majelis Pembimbing Nasional (Mabinas) yang diketuai Presiden Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam AD/ART Gerakan Pramuka," ujar Rachmad kepada Kompas.com, di Jakarta, akhir pekan lalu.

Pantang menyerah, pengurus Pramuka pun banting setir. Mereka mencari cara lain. Hingga kemudian pertengahan Desember 2011 dibuat nota kesepahaman dengan PT Purnama Alam Sakti. Nota kesepahaman dibuat dalam rangka mempersiapkan PK baru secara BOT selama 30 (tiga puluh) tahun untuk lahan seluas 18,9 ha di Taman Rekresi Wiladatika (TRW) dan lahan Pusdiklatnas.

Di atas lahan TRW tersebut PAS akan mengembangkan pusat bisnis, hotel, kolam renang dan tempat rekreasi yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan pendidikan Pramuka. Sedangkan Pusdiklatnas dan beberapa bangunan di TRW akan diganti dengan bangunan baru di lahan Buperta senilai Rp 60 miliar dan selama 30 tahun Pramuka akan menerima dana kontribusi yang dibayarkan setiap tahun dengan jumlah kumulatif senilai Rp 510 miliar.

Tanggal 21 Maret 2012 tanpa melalui rapat pleno pimpinan sebelumnya, Pramuka dan PAS menandatangani perjanjian kerjasama. PK tersebut mengatur hak dan kewajiban masing-masing.

"Kembali Pramuka, dalam hal ini Kepala Kwarnas mengabaikan AD/ART karena penandatanganan ini tanpa melalui pembahasan Sidang Paripurna Andalan Nasional dan  konsultasi dengan Mabinas. Lebih dari itu, PK ini berpotensi merugikan negara karena Pramuka sebagai pengelola Buperta dan TRW hanya menerima dana kontribusi sebesar Rp 510 miliar selama 30 tahun," imbuh Rachmad.

GPAP sendiri telah menghitung, jika menggunakan patokan Kementrian Keuangan, maka nilai sewa yang akan didapat oleh Pramuka jauh lebih besar dari nilai kumulatif yang ditawarkan PAS. Setidaknya Pramuka akan mendapat nilai akumulasi sewa selama 30 tahun sebesar Rp 2,1 triliun, dari harga lahan sesuai NJOP Rp 2.000.000 per meter persegi, pertimbangan suku bunga 8 persen dan faktor pertumbuhan harga sebesar 10 persen.

"Jika PK tersebut dijalankan, maka berpotensi merugikan negara senilai Rp 1,59 triliun," imbuh Rachmad.

 

 

 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau