JAKARTA, KOMPAS.com - Saat ini, ketika semakin banyak masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) tidak bisa memiliki rumah, Pemerintah terlihat tidak siap mengantisipasi mekanisme pasar perumahan yang ada. Pemerintah seperti tidak dapat memahami bahwa penyediaan lahan untuk rumah rakyat tidak bisa mengikuti mekanisme pasar yang ada, lantaran daya beli tidak paralel dengan harga rumah. Demikian diungkapkan Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda kepada Kompas.com di Jakarta, Rabu (23/5/2013).
Menurut Ali, UUD 1945 sangat jelas menyebutkan bahwa penyediaan rumah untuk rakyat menjadi tanggung jawab pemerintah sehingga sudah seharusnya pemerintah yang mengambil peran aktif membangun rumah rakyat. "Jadi, target pembangunan rumah yang ditetapkan pemerintah seharusnya bukan menjadi tanggung jawab pihak swasta," ujar Ali.
Pada dasarnya, lanjut dia, pihak swasta tidak pernah keberatan membantu pemerintah dalam penyediaan rumah rakyat. Namun, dalam hal ini, pihak swasta atau para pengembang swasta dalam posisi membantu sehingga hal tersebut tidak bisa serta merta terealisasi.
"Sebab banyak faktornya, antara lain upaya pihak swasta tidak terlepas dari motif bisnis untuk meraup untung. Kedua, hal paling penting, pengembang swasta kesulitan membangun rumah murah karena harga tanah semakin melangit dan kenaikannya sangat tidak terkendali terkait mekanisme pasar yang berlaku di setiap wilayah," kata Ali.
Melihat kondisi ini, menurut Ali, kunci persoalannya adalah pemerintah harus bisa mengatasi permasalahan ketersediaan tanah. Mereka harus siap untuk mempunyai bank tanah (land bank) yang berada di luar mekanisme pasar.
"Artinya, tanah-tanah yang menjadi bank tanah pemerintah itu tidak akan mengikuti gejolak harga pasar, dan pemerintahlah yang menjadi penentu patokan harga tanahnya agar dapat dibangun rumah murah. Dalam hal ini pemerintah menyediakan tanah, nanti pihak swasta yang membangun," kata Ali.
Seperti diberitakan sebelumnya (Baca: Rumah Murah, Mimpi yang Tak Murah...), hingga triwulan I-2013, Januari-Maret, penyerapan rumah bersubsidi untuk masyarakat berpenghasilan rendah sebanyak 22.385 unit senilai Rp 1,121 triliun atau hanya 18,5 persen dari target pemerintah sebanyak 121.000 unit pada tahun ini. Total anggaran untuk penyerapan kredit pemilikan rumah (KPR) bersubsidi sebesar Rp 10 triliun yang dihimpun dari dana pemerintah Rp 7 triliun dan perbankan Rp 3 triliun.
Artinya? Target memenuhi kebutuhan masyarakat bawah untuk bisa punya rumah masih jauh dari harapan. Pada pembukaan pameran properti REI Expo ke-26 2013 di Jakarta, Sabtu (4/5/2013) silam, Deputi Bidang Pembiayaan Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera) Sri Hartoyo mengatakan bahwa rendahnya penyerapan disebabkan pasokan rumah sederhana bersubsidi, baik rumah susun maupun rumah tapak, masih sangat sedikit.
Hal itu antara lain karena masalah mahalnya harga tanah, khususnya di DKI Jakarta. Selain itu, usulan Kemenpera menaikkan patokan harga rumah susun bersubsidi yang bebas Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) final 1 persen hingga kini belum dikabulkan Menteri Keuangan. Patokan harga rumah susun bersubsidi diusulkan naik dari Rp 4 juta per meter persegi menjadi Rp 7 juta per meter persegi. Jika ukuran rumah subsidi 36 meter persegi, harganya diusulkan naik dari Rp 144 juta per unit menjadi Rp 252 juta.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.