JAKARTA, KOMPAS.com - Sektor properti Indonesia yang tengah berada di puncak keperkasaannya dipandang sebagai peluang besar bagi arsitek Indonesia untuk menunjukkan keahliannya. Arsitek nasional semestinya dapat memanfaatkan peluang tersebut secara maksimal.
Peluang tersebut mutlak harus dimanfaatkan. Karena potensi nilai atau tarif konsultasi arsitektur lebih dari Rp 5 triliun dari total nilai proyek properti yang dikembangkan hingga kurun 2015 mendatang, yaitu saat pasar bebas ASEAN diberlakukan.
Pasar bebas ini seolah karpet merah bagi lancarnya "invasi" arsitek asing mengambil "periuk nasi". Di sisi lain, hal itu sekaligus lampu kuning yang membahayakan eksistensi arsitek Indonesia.
Saat ini saja, sudah banyak firma arsitektur asal Singapura yang beroperasi di Indonesia. Belum lagi gerilya yang dilakukan beberapa firma dari Spanyol, Amerika Serikat, dan Australia. Untuk itu, diperlukan proteksi menyeluruh dan strategis guna mempertahankan daya saing dan daya tawar (bargaining position) arsitek Nasional berupa Undang-Undang Arsitek.
Namun, hingga kini arsitek nasional bekerja dan berkarya tanpa dinaungi kekuatan payung hukum sebagai pendukung eksistensi mereka. Pasalnya, DPR RI tak kunjung mengesahkan RUU Arsitek yang sudah bolak-balik dikonsultasikan. Posisi terakhir nasib RUU tersebut, malah bukan prioritas untuk dibahas oleh DPR.
Ketua Umum IAI Munichy B Edrees mengatakan, saat ini para arsitek nasional masih bekerja di bawah naungan UU Jasa Konstruksi. Hal itu membuat posisi arsitek merupakan sub-ordinat dari kontraktor.
"Padahal, arsitek itu independen. Mereka tidak bisa diintervensi, baik oleh klien, kontraktor, maupun pemilik gedung (properti)," ujar Munichy kepada Kompas.com di Jakarta, Rabu (22/5/2013).
Menurut dia, pentingnya UU Arsitek diprioritaskan dan disahkan segera adalah karena ia tidak hanya untuk kepentingan arsitek, melainkan juga demi kepentingan masyarakat Indonesia. Keberadaan UU ini nantinya juga akan mengatur invasi arsitek asing di Indonesia.
"Kita memang tidak bisa mencegah mereka masuk karena globalisasi. Hanya saja, posisi kita harus setara. Firma asing tidak bisa seenaknya masuk pasar Indonesia. Mereka harus berkolaborasi dengan arsitek nasional pada posisi setara. Selama ini kita hanya dijadikan partner lokal (bemper), hanya dikasih jatah mengerjakan pekerjaan detil, bukan konsep," ujar Aditya W Fitrianto, arsitek Prada Tata Indonesia (PTI).
Selain itu, UU Arsitek tersebut juga mencantumkan bagaimana sebuah desain harus memperhatikan keselamatan dan keamanan bangunan gedung dan lingkungan sekitar. Arsitek harus memiliki sikap tegas untuk dapat menolak merancang gedung di atas situs yang berpotensi menimbulkan masalah di kemudian hari. Selama ini, akibat ketiadaan UU, marak terjadi "mal desain" yang dilakukan arsitek seperti runtuhnya bangunan, banjir, dan defisit air tanah.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.