JAKARTA, KOMPAS.com - Nasib "Orchard Road" versi Jakarta atau Satrio International Tourism and Shopping Belt menjadi tidak jelas. Menyusul terkatung-katungnya infastruktur JLNT segmen Kampung Melayu-Tanah Abang sebagai akses publik.
Sabuk Wisata dan Belanja kelas Internasional ini dirancang untuk membidik pasar regional Asia-Pasifik. Terinspirasi kesuksesan Orchard Road di Singapura yang mampu menyedot turis dan pengunjung asing. Orchard Road versi domestik ini berbentuk koridor sepanjang 1,6 kilometer. Terbentang dari perpotongan Jl Sudirman-Jl Prof Dr Satrio (Karet Kuningan-Kuningan Selatan) hingga mulut Jl Cassablanca, jakarta Selatan.
Ketua Tim Pembuat Urban Design Guide Lines (UDGL) Mohammad Danisworo merancang Satrio International Shopping Belt dengan penekanan pada akses ruang publik. Tidak hanya bangunan masif komersial yang diakomodasi, publik pun diberikan perlakuan istimewa. Para pejalan kaki akan dimanjakan, dijamin keamanan dan kenyamanannya dengan desain jalur pedestrian selebar 11,5 meter dan ditata secara khusus. UDGL ini berfungsi sebagai acuan pembangunan bagi semua pengembang dan pemilik lahan bila ingin membangun properti di koridor ini.
Sejatinya, banyak pihak tidak menyetujui pembangunan JLNT ini. Mereka yang beroposisi memiliki alasan bahwa kehadiran JLNT hanya akan merelokasi kemacetan dari koridor ini menuju koridor berikutnya (ramp on-off) baik dari sisi Jl Cassablanca (Kampung Melayu) maupun Jl Mas Mansyur (Tanah Abang). Sementara itu, tak sedikit pula yang menyayangkan berdirinya JLNT dengan ketinggian tak lebih dari 12 meter justru akan menambah polusi visual kota.
Commercial Post Review Officer OCBC NISP Vincentius Valdi yang berkantor di koridor ini termasuk yang kontra. Menurutnya, JLNT hanya solusi instan dan ketidakmampuan Pemda DKI Jakarta dalam menyelesaikan masalah kemacetan secara esensial dan komprehensif.
"Saya sangat tidak setuju. Kehadiran JLNT hanya akan merusak estetika kota. Padahal di koridor ini tengah dibangun proyek-proyek dengan rancangan arsitektural kelas dunia. Saya tidak bisa menikmati hasil rancangan itu dengan maksimal karena terhalang oleh bentangan jembatan. Lagipula, ini hanya memindahkan kemacetan," ujar Valdi yang harus menempuh perjalanan selama 2 jam dari kantornya menuju tempat kos.
Sementara itu, salah seorang pembeli apartemen di MyHome Ciputra World Jakarta, yang tidak ingin disebut namanya, justru lebih mengapresiasi bila Pemda DKI Jakarta membangun subway dan sistem transportasi publik, alih-alih JLNT yang menurutnya hanya solusi temporer. "Kalaupun JLNT, ya harus dikelola dan dipelihara secara profesional, sehingga kehadirannya merupakan titik perhatian sebuah kota, seperti kebanyakan insfrastruktur jalan di Mancanegara. Shanghai-China contohnya," ujarnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.