Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pengembang, Hati-hati Penarikan Dana Lebih dari 80 Persen!

Kompas.com - 01/11/2012, 16:08 WIB

Oleh Eddy Marek Leks

KOMPAS.com - Undang-undang Nomor 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (UU Perumahan) telah berlaku sejak 12 Januari 2011 lalu. Dalam UU itu diatur beberapa sanksi pidana yang dapat menjerat pengembang, pejabat pemerintah, ataupun pihak-pihak lain.

Salah satu ketentuan perlu diwaspadai adalah ketentuan yang diatur dalam Pasal 138 UU Perumahan, yang berbunyi sebagai berikut: "Badan hukum yang melakukan pembangunan rumah tunggal, rumah deret, dan/atau rumah susun dilarang melakukan serah terima dan/atau menarik dana lebih dari 80% (delapan puluh persen) dari pembeli sebelum memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45."

Jika pengembang melanggar Pasal 138 UU Perumahan, terdapat sanksi pidana berupa pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000 (satu miliar rupiah).

Hal yang perlu dicermati ialah, ketentuan Pasal 138 ini tidak hanya mengatur tentang pembangunan rumah tunggal atau rumah deret, tetapi juga terhadap rumah susun. Dengan demikian, Pasal 138 UU Perumahan mencakup para pengembang rumah susun.

Jadi, persyaratan apa saja yang perlu dipenuhi sebelum serah terima dan atau penarikan dana lebih dari 80% dapat dilakukan?

Sesuai Pasal 138, persyaratan itu diatur di dalam Pasal 45 jo. 42 ayat (2) UU Perumahan. Pasal 42 ayat (2) UU Perumahan mengatur sebagai berikut: Perjanjian pendahuluan jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah memenuhi persyaratan kepastian atas: status pemilikan tanah; hal yang diperjanjikan; kepemilikan izin mendirikan bangunan induk; ketersediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum; dan keterbangunan perumahan paling sedikit 20% (dua puluh persen).

Di dalam penjelasan Pasal 42 ayat (2) diuraikan bahwa yang dimaksud dengan "hal yang diperjanjikan" adalah kondisi rumah yang dibangun dan dijual kepada konsumen, yang dipasarkan melalui media promosi, meliputi lokasi rumah, kondisi tanah/kaveling, bentuk rumah, spesifikasi bangunan, harga rumah, prasarana, sarana, dana utilitas umum perumahan, fasilitas lain, waktu serah terima rumah, serta penyelesaian sengketa.

Selain itu, yang dimaksud dengan "keterbangunan perumahan paling sedikit 20% (dua puluh persen)" adalah hal telah terbangunnya rumah paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari seluruh jumlah unit rumah serta ketersediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum dalam suatu perumahan yang direncanakan.

Melihat Pasal 42 ayat (2), ketentuan tersebut ialah tentang perjanjian pendahuluan jual beli, yang secara umum dikenal sebagai perjanjian pengikatan jual beli atau PPJB. Dengan berlakunya UU Perumahan, pengembang baru dapat menandatangani PPJB dengan pihak pembeli, setelah memenuhi syarat-syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 42 ayat (2).

Oleh karena itu, jika PPJB telah ditandatangani, hal itu berarti seluruh syarat-syarat telah terpenuhi, dan sebagai akibatnya, pengembang dapat menarik dana lebih dari 80% dan/atau melakukan serah terima dengan pihak pembeli.

Tentunya, dapat diketahui bahwa tujuan dari pengaturan sanksi pidana terhadap pelaksanaan Pasal 138 UU Perumahan pada prinsipnya ialah untuk melindungi pembeli, terutama pembeli yang ingin atau mampu membayar harga jual rumah yang dibelinya dengan tunai keras (pelunasan di muka). Hal ini sering dijumpai oleh pengembang-pengembang di Indonesia. Hanya bermodalkan surat pesanan atau bahkan tanpa surat pesanan, para pembeli telah berani melakukan pembayaran secara tunai keras kepada pengembang, yang secara fakta, belum ada pembangunan apapun berjalan di atas lokasi. Lebih jauh, izin mendirikan bangunan pun mungkin belum terbit atas nama pengembang.

Hal-hal seperti inilah yang diatur oleh pembuat undang-undang agar tidak terjadi lagi di kemudian hari, demi perlindungan kepada para pembeli. Namun, di sisi lain, meskipun para pengembang juga mempunyai kepentingan untuk memperoleh pembayaran tunai di muka secara tunai keras untuk kepentingan cash flow, pengembang perlu waspada untuk menerima pembayaran tersebut setelah penandatanganan PPJB dilaksanakan, yang artinya setelah memenuhi syarat-syarat sebagaimana diatur Pasal 42 ayat (2) UU Perumahan.

Tentu saja, hal ini menjadi sangat penting karena terdapat sanksi pidana bagi para pengembang yang melanggar ketentuan tersebut. Meskipun sanksi pidana memberikan alternatif hukuman, apakah pidana kurungan maksimal 1 (satu) tahun atau denda maksimal Rp 1.000.000.000 (satu miliar), tentunya bukanlah hal yang bijaksana bagi pengembang untuk mengambil risiko hukum yang tidak perlu.

(Penulis adalah pendiri dan Managing Partner Leks&Co)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau