Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rumah Sarat Kenangan Setiawan Djodi

Kompas.com - 16/09/2012, 09:44 WIB

Mawar Kusuma

KOMPAS.com - Menikmati pergantian sore ke malam di rumah Setiawan Djodi (63) terasa ada ketenangan. Rumah dua lantai itu bermandikan cahaya keemasan matahari sebelum gelap menyelimuti senja. Suara jangkrik terdengar dari halaman dengan rimbun pepohonan.

Djodi tergesa-gesa melangkahkan kaki turun dari lantai dua sebelum mengajak kami berkeliling ke seluruh penjuru rumah. Ia lantas menunjukkan pohon bodi di halaman depan rumahnya yang kokoh bersanding dengan aneka jenis pohon berukuran raksasa.

Meski ditumbuhi pepohonan rindang, Djodi mengeluh karena sumur di rumahnya sudah mengering. Tinggal di tengah kota di Jalan Kemanggisan Raya, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, rumah Djodi memang dikepung permukiman padat penduduk.

Di sudut depan lahan seluas satu hektar itu, Djodi berhenti sejenak sebelum menunjukkan halaman kosong yang ingin disulap menjadi studio musik dua lantai. Ia dan rekan-rekannya seperti Iwan Fals dan Sawung Jabo yang pernah tergabung dalam Kantata Takwa sering kali berlatih di studio mungil di bagian belakang rumah Djodi.

Saat tampil bersama Kantata Takwa, Djodi menjadi salah seorang gitaris. Koleksi gitarnya menjadi hiasan di studio musik tersebut. ”Almarhum Harry Roesli bilang rumah ini sebagai University of Kantata. Musik bagian dari kontemplasi, luapan emosi,” kata Djodi.

Gitar pula yang menjadi teman setia Djodi. Ke mana pun ia bepergian, dua gitar kesayangannya selalu dibawa. Bahkan, ia terbiasa tidur berteman gitar di sudut kamar di ruang tidurnya nan luas di lantai dua.

Djodi menggemari gitaris dunia Jimi Hendrix. Pada konser Kantata Barock, Desember 2011, Djodi bermain gitar sembari membayangkan berselancar di lautan. ”Di lagu ’Mata Dewa’, saya main gitar dengan tidak putus kayak melukis di kanvas. This is my style,” tambahnya.

Hidup kedua

Setelah menjalani pencangkokan ginjal dengan putrinya sebagai donor, Djodi merasa diberi kesempatan kedua dalam hidup. Ia antara lain menuangkan pengalamannya hampir bersentuhan dengan maut dalam sebuah lukisan yang dipajang memenuhi salah satu dinding di ruang tamu. Lukisan itu baru diselesaikannya tiga bulan lalu.

”Hakikatnya melukis sama seperti bermusik, kepuasan spiritualnya tidak bisa dibayar uang,” tambah Djodi.

Lukisan yang menggambarkan tiap tahap kehidupan Djodi itu dipajang satu ruang dengan beberapa lukisan karya Basoeki Abdullah yang adalah paman Djodi. Basoeki melukis sosok Djodi dengan pose naik kuda yang diibaratkan seperti ketika Djodi sedang berselancar menaiki ombak.

Ketika masih muda, Djodi memang aktif menjalani beragam olahraga luar ruangan, seperti selancar dan panjat tebing. Belakangan ada gangguan di kedua ginjalnya sehingga kemudian ia harus rela berpisah dari kegemaran tersebut.

Selain bermusik, hobi masa muda yang tetap bisa dihidupi Djodi adalah melukis. Djodi belajar melukis dari Basoeki. Dari sejak usia sembilan tahun, ia melihat kepiawaian pamannya itu melukis. Di waktu senggang, Djodi juga diajak Basoeki turut serta dalam acara makan pagi bersama Presiden Soekarno.

Djodi lantas menunjukkan lukisan pertama yang ia buat tahun 1970. Lukisan itu dibuat saat ia tinggal di New York, Amerika Serikat. Saking banyaknya, lukisan yang dipajang di rumah Djodi tak lagi bisa dihitung dengan jari tangan. Lukisan-lukisan itu memenuhi dinding ruang tamu, ruang perpustakaan, hingga dinding di bawah tangga menuju ruang atas. ”Bagiku melukis lagi setelah lebih dari setahun ndak papa. Ekonomiku harus kuat, kalau enggak orang pesan lukisan sama aku,” ujar Djodi.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com