JAKARTA, KOMPAS.com — Tan Harry Tantono alias Ayung (45) adalah seorang pengusaha yang mulai naik daun dengan perusahaan peleburan besi bajanya, PT Sanex Steel Indonesia (SSI), yang kini berubah nama menjadi PT Power Steel Mandiri. Nama Ayung memang belum terlalu dikenal publik. Namun, di kalangan pebisnis, Ayung terkenal sebagai pengusaha ulet.
Sumber Kompas.com menyebutkan, Ayung memulai kariernya sebagai penjaga toko emas, penjual DVD bajakan, importir, hingga akhirnya mendirikan perusahaan sendiri dengan bendera PT Sanex Steel Indonesia. Menurut sumber itu, bisnis Ayung pun kian moncer dan dia sudah merencanakan bisnis-bisnis baru seperti bisnis permata di Kalimantan Selatan yang sudah masuk dalam tahap perizinan, bisnis pemasok senjata api, hingga rencana menggolkan proyek Jembatan Selat Sunda.
Entah bagaimana, Ayung tiba-tiba saja ditemukan tewas dengan 32 luka tusuk di bagian pinggang, perut, dan leher di dalam kamar 2701, Swiss-Belhotel pada 26 Januari 2012 lalu. Kepolisian Daerah Metro Jaya langsung bergerak cepat mengusut kematian Ayung setelah tiga tersangka, yakni Tuce Kei, Ancola Kei, dan Chandra Kei, menyerahkan diri dan mengaku telah menusuk pria asal Surabaya itu.
Polisi kemudian membekuk Deni Res dan Kupra yang berperan menganiaya Ayung. Kelimanya mengaku membunuh Ayung bersama teman-temannya yang kini buron lantaran ingin menagih janji pelunasan utang Ayung atas jasa debt collector senilai Rp 600 juta.
Polisi lalu mulai mencium keterlibatan John Kei dalam kasus tersebut, meski lima tersangka itu tidak ada satu pun yang angkat bicara soal keterlibatan tokoh pemuda Pulau Kei, Maluku Tenggara, tersebut. Hal ini dibenarkan oleh Tito Refra, yang menjadi kuasa hukum kelimanya.
"Tidak ada satu pun keterangan yang mengarah kalau kakak saya jadi otak pembunuhan itu. Kakak saya tidak terlibat. Dia justru marah besar saat tahu Ayung yang juga teman dekatnya dibunuh anak buahnya," ujar Tito beberapa waktu lalu.
Namun, perpegang pada keterangan saksi-saksi dan rekaman CCTV, polisi tetap yakin kalau pembunuhan terhadap Ayung sudah direncanakan sebelumnya dan John Kei terlibat di dalamnya. John Kei pun akhirnya dibekuk aparat dalam sebuah operasi penyergapan dengan mengerahkan 75 orang personel di hotel C'One, Pulomas, Jakarta Timur, pada Jumat (17/2/2012) lalu.
Hanya sekadar perkara Rp 600 juta?
Penyidikan kasus pembunuhan Ayung terus berkembang. Sudah puluhan saksi dipanggil aparat kepolisian untuk membuat terang kasus ini. Pasalnya, polisi tidak yakin pembunuhan Ayung dilatari perkara utang fee jasa debt collector yang hanya Rp 600 juta. Nilai itu dinilai terlalu kecil jika sampai John Kei membunuh kawan dekatnya itu.
Selain itu, aparat kepolisian hingga kini juga masih belum menemukan siapakah orang berutang kepada Ayung. Menurut sumber Kompas.com, seluruh tersangka–kecuali John Kei–sudah dimintai keterangannya, namun mereka tidak bisa menyebutkan siapa orang yang mereka tagih atas instruksi Ayung.
"Tanyakan ke mereka siapa yang ditagih. Ini sudah ditanyakan pihak kepolisian dan tidak ada yang bisa jawab. Ini mencurigakan," ucap sumber itu.
Wakil Direktur Reserse Umum Polda Metro Jaya Ajun Komisaris Besar Nico Afinta, beberapa waktu lalu juga mengutarakan keraguannya. Kalau motifnya menagih utang atau menagih fee, kata Nico, cara yang mereka tempuh sudah sangat berlebihan. Sepengetahuan dia, tak ada kelompok penagih utang menempuh cara brutal seperti yang mereka lakukan.
Dengan demikian, motif penagihan utang atas jasa debt collector itu pun diduga kuat sebagai kamuflase belaka. Aparat kepolisian pun mulai menggali keterangan dari orang-orang dekat John Kei dan Ayung untuk mengungkap latar pertemuan Ayung dan John Kei di kamar 2701. Salah satunya adalah Said Kei, saudara John Kei, yang juga karyawan Ayung di Sanex.
Menurut Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Rikwanto, Said dipanggil penyidik untuk bersaksi dalam kasus pembunuhan Ayung. Said diduga mengetahui latar pertemuan itu.
Siapa di balik sosok John Kei?
Hubungan antara John Kei dan Ayung memang bisa dibuktikan sangat dekat. Keduanya berkenalan di tahanan Polda Metro Jaya pada tahun 2007. Saat itu, Ayung tersandung masalah identitas palsu, sedangkan John Kei terbelit persoalan perusakan di Pondok Gede, Jakarta Timur.
Sejak perkenalan itu, John Kei kerap membantu Ayung jika ada permasalahan. John pun sempat membentak salah seorang anak buahnya, yang sempat menyerang pabrik Ayung di Tangerang.
Menurut sumber Kompas.com, sosok Ayung bagi John Kei adalah "tambang emas" lantaran pengusaha muda itu terbilang royal dan tidak pernah macam-macam. Sifat Ayung yang royal terhadap John Kei ini pun dibenarkan kuasa hukum Ayung, Carel Ticualu.
"Tidak ada persaingan di antara mereka. Saat John Kei perlu duit, minta ke Ayung dikasih. Kalau ada bisnis apa, dan dinilai Ayung visible, dia bantu dan ini berjalan terus. Saya juga agak aneh kalau John Kei sampai bunuh Ayung, apa nggak suatu kebodohan?" kata Carel, Selasa (28/2/2012) malam.
Sesaat sebelum pembunuhan terjadi, Ayung memang mendatangi John Kei di dalam kamar itu. Namun, pertemuan ini tidak pernah diceritakan Ayung ke siapa pun. Menurut sumber Kompas.com, pada siang harinya, Ayung mengaku akan bertemu dengan seorang menteri. Carel pun tidak mengetahui bahwa Ayung akan bertemu John Kei malam itu.
"Tapi kalau pun dia mau ketemu, yah itu biasa saja buat saya. Karena John Kei kan sudah sangat dekat dengan Ayung," ucapnya.
Menurut Tofik Candra, pertemuan Ayung dan John Kei sesaat sebelum pembunuhan terjadi hanya untuk membahas perayaan hari raya Imlek dan soal bantuan yang dimintakan Ayung kepada John Kei soal perusahaannya. Saat anak-anak buah John Kei datang, Ayung meminta waktu untuk berbicara dengan mereka dan John Kei pun pulang. John Kei, diakui Tofik, tidak mengetahui adanya pembunuhan itu.
Namun, sumber Kompas.com lain yang juga dekat dengan sosok Ayung meragukan hal itu. Menurut sumber itu, sosok John Kei tidak akan mungkin meninggalkan Ayung sendirian di dalam kamar, sementara belasan anak buahnya datang menghampiri Ayung. Dari hasil reka adegan yang dilakukan kepolisian beberapa waktu lalu, John Kei juga diketahui ada di dalam kamar saat pembunuhan terjadi.
Saat anak buahnya menghabisi nyawa Ayung, John Kei saat itu duduk mengamati. Jika memang benar John Kei terlibat dalam kasus pembunuhan ini, pastilah ada motif yang lebih kuat dan lebih menguntungkan bagi John Kei ketimbang perkara jasa fee Rp 600 juta. Saat dimintai konfirmasi hal ini, Carel mengakui dirinya sempat terbersit hal itu.
"Ya, saya menduga seperti itu. Dari kronologi ceritanya, tidak mungkin seorang John Kei tega membunuh Ayung kalau tidak ada orang yang punya kekuatan lebih besar dan lebih bisa diandalkan dan lebih segala-segalanya dari Ayung," ungkap Carel.
Apakah pembunuhan terhadap Ayung adalah "titipan" orang lain? "Bisa saja," ujar Carel.
Namun, dugaan itu perlu pembuktian dan penelusuran yang dilakukan aparat kepolisian. Carel pun tidak bisa menduga siapakah orang yang kemungkinan menginginkan Ayung terbunuh. "Saya tidak bisa menduga-duga, itu nanti pekerjaan polisi yang mengungkap," katanya.
Motif sesungguhnya jika memang benar kematian Ayung sudah dipesankan seseorang, pertanyaan yang muncul berikutnya adalah mengapa Ayung perlu dihabisi? Jika melihat latar belakang Ayung, sektor bisnis bisa menjadi satu-satunya ancaman nyawa Ayung. Pasalnya, Ayung kerap kali berurusan dengan aparat kepolisian lantaran perkara bisnisnya.
Pada tanggal 7 Desember 2004, Ayung bersama dengan tiga rekannya, yakni Rudy Santoso, Kong Tju Yun, dan Ho Giok Kie alias Arifin, mendirikan perusahaan bernama PT Sanex Steel Indonesia yang bergerak di bidang peleburan besi baja. Keempatnya pun menjadi pemegang saham dengan komposisi Ayung dengan 7.000 saham, Kong Tju Yun 5.500 saham, Rudy Santoso 4.000 saham, dan Arifin 3.500 saham.
Namun, perjalanan Sanex sebagai perusahaan baru terbilang tidak terlalu mulus. Berdasarkan data yang dihimpun Kompas.com, pada Oktober 2005, Arifin mengundurkan diri secara tertulis. Seluruh modal saham Arifin yang pernah disetorkan pun telah dikembalikan semuanya.
Setelah keluar dari perusahaan, Arifin kemudian kerap terlibat perkara dengan Ayung yang merupakan teman lamanya di Surabaya. Pada tanggal 30 Desember 2006, Ayung ditangkap atas laporan yang dibuat Arifin ke Polda Metro Jaya. Ayung dituduh telah melakukan pemalsuan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia dan akta notaris. Saat ditangkap, polisi juga menemukan dua buah kartu tanda penduduk berbeda dengan foto yang sama, yakni wajah Ayung.
Setelah itu, Arifin kembali membuat pengumuman iklan baris di Media Indonesia tentang pembubaran dan likuidasi PT Sanex Steel Indonesia, di mana likuidatornya adalah Arifin sendiri. Arifin juga sempat mempersoalkan status kewarganegaraan para pemegang saham Sanex.
Pada tanggal 26 Januari 2007, pabrik Ayung diserang kelompok massa pimpinan Amir Talaohu dan Mutaqin yang membawa surat kuasa Arifin untuk mengambil alih pabrik dengan dasar keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang membubarkan Sanex. Kasus penyerangan itu pun kemudian berlanjut ke meja hijau. Amir dan Mutaqin akhirnya divonis Pengadilan Negeri Tangerang pada tanggal 4 Agustus 2008 dengan tiga bulan penjara. Sementara, Arifin dinilai tidak terbukti terlibat penyerangan itu.
Pada tahun itu juga, Arifin melaporkan tiga orang pemilik saham Sanex, yakni Ayung, Rudy Santoso, dan Kong Tju Yun, terkait sengketa kepemilikan saham di Mabes Polri. Kasus ini akhirnya ditetapkan Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada 26 Agustus 2009 dengan membebaskan ketiganya dari hukuman karena perkara itu perkara perdata.
Diduga, perseteruan antara Ayung dan Arifin ini terjadi lantaran Arifin ingin kembali masuk ke dalam perusahaan. Carel yang mendampingi Arifin selama proses hukum itu berlangsung membenarkan adanya perseteruan antara Ayung dan Arifin soal Sanex itu.
"Benar, memang mereka sempat saling lapor soal Sanex dan perbuatan Arifin kepada para pemegang saham. Tapi akhirnya mereka sepakat untuk berdamai," kata Carel.
Lebih lanjut, Carel juga enggan menduga-duga apakah perseteruan bisnis Ayung ini menjadi latar pembunuhan ayah empat anak itu. "Bisa saja, tapi perlu kekuatan lebih besar sampai bisa membuat John Kei, misalnya benar, membunuh Ayung," kata Carel.
Apakah posisi Arifin lebih kuat dari Ayung? "Tidak. Masih lebih kuat Ayung karena berseteru dengan Sanex, Arifin habis uang banyak dan dia mulai merintis usahanya lagi," tutur Carel.
Berdasarkan sumber Kompas.com, Arifin tidak memiliki perusahaan. Dia bekerja sebagai rentenir kepada orang-orang yang butuh pinjaman uang. Arifin pun dikenal dekat dengan sejumlah pejabat kepolisian, demikian juga dengan Ayung. Baik Ayung dan Arifin konon dikabarkan sama-sama disokong oleh orang kuat di belakangnya baik itu dari politisi, polisi, bahkan pengusaha yang lebih besar.
Lalu, siapakah "orang kuat" di balik John Kei? Penyidikan hingga kini masih berlangsung untuk menyingkap misteri kematian Ayung ini.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.