Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Joengky Sulistyo: Townhouse di Kedoya, Kampung Hijau di Dalam Kota

Kompas.com - 21/08/2010, 15:24 WIB

KOMPAS.com - Townhouse atau rumah di dalam kota, dikenal sejak berabad lalu di kota-kota di Eropa, lalu menyebar ke Amerika, Kanada, Australia. Salah satu townhouse terkenal adalah Downing Street 10, kediaman Perdana Menteri Inggris.

Di Indonesia, hunian townhouse umumnya dibangun di daerah Jakarta Selatan dan Depok di mana udaranya masih dingin dan banyak pepohonan hijau. Suasana seperti ini disukai banyak ekspatriat yang bekerja di Jakarta.

Pembangunan townhouse di Indonesia tidak semeriah apartemen. Namun seiring berjalannya waktu, townhouse kini mulai dilirik investor dan pengembang.

Adalah Joengky Sulistyo, pengusaha muda properti, yang bersama mitranya, Hardiman, membangun townhouse eksklusif di daerah Kedoya, Jakarta Barat yang hijau.

Joengky, arsitek lulusan Universitas Tarumanegara angkatan 1989 ini sebelumnya pernah bekerja di kantor pusat perusahaan properti Grup Ciputra di bidang planning design. “Di sanalah saya belajar dengan suhu properti Indonesia, Pak Ciputra selama empat tahun,” cerita Joengky kepada Kompas.com.

Joengky sempat memegang proyek Ciputra World di Jalan Dr Satrio sebelum terkena krisis ekonomi 1998. “Tahun 1997, seharusnya rencana Jalan Dr Satrio menjadi kawasan pedestrian seperti Orchard Road diluncurkan. Sayang, Indonesia terkena krisis ekonomi sehingga semua proyek terhenti hingga bertahun-tahun lamanya,” ungkapnya.

Tahun 1999-2000, Joengky terlibat dalam proyek Grup Pikko di Kepala Gading.

Setelah itu, Joengky berpikir membuka usaha properti sendiri. Dia bertemu dengan mitranya, Hardiman Tedja, dan mereka membangun 10 rumah khusus untuk disewakan kepada kalangan ekspatriat di kluster Veranda di kawasan Cipete, Jakarta Selatan.

Proyek Veranda itu ternyata diminati ekspat sehingga membuat Joengky dan Hardiman makin percaya diri. Tahun 2006, Joengky dan Hardiman memberanikan diri membangun kawasan townhouse di Kedoya di lahan seluas 3 hektar. Mereka mencari arsitek Thomas Elliot, yang suka mendesain Hotel Gran Mahakam Jakarta.

Townhouse eksklusif yang kemudian diberi nama Residence28 Kedoya ini pun diminati banyak orang. Dari 82 unit yang dibangun, lebih setengahnya sudah terjual. “Waktu cari nama yang tepat, kami pernah terpikir pakai nama sansekerta, tapi akhirnya kami pilih nama yang simpel saja supaya mudah diingat,” ujarnya.

Dan yang membuat Joengky, yang mengenyam pendidikan SD dan SMP Santa Maria Fatima, serta SMA Kanisius Jakarta ini puas adalah proyek Residence28 Kedoya ini mendapatkan penghargaan dari FIABCI Indonesia untuk kategori Townhouse.

Berikut ini wawancara khusus Robert Adhi Ksp dari Kompas.com dengan Joengky Sulistyo, Direktur PT Sentra Karya Bersama, pengembang yang membangun townhouse Residence28 Kedoya, sekaligus pemiliknya.

Mengapa Anda tertarik membangun townhouse di Jakarta Barat? Sebetulnya, pada awalnya, saya dan mitra Hardiman Tedja membangun proyek rumah sewa untuk ekspat di lahan seluas 5.000m2 pada tahun 2003. Jumlah rumah tak banyak, hanya 10 unit. Ternyata peminatnya banyak dan kami anggap sukses.

Kami mulai berpikir membangun townhouse di Jakarta Barat. Kami mengambil peluang ini karena belum ada townhouse di wilayah Jakarta Barat. Kami mencari lahan dan kami mendapatkan lahan kosong seluas 2,5 hektar, yang awalnya merupakan tanah garapan.

Kami mencari konsultan arsitek Thomas Elliot, dan mendiskusikan rencana membangun townhouse di Jakarta Barat. Biasanya kan pengembang membangun vertikal, membangun apartemen. Kami berpikir kami harus membangun sesuatu yang berbeda.

Proyek ini proyek anak muda semua. Saat memulai, kami masih di bawah 40 tahun.

Sampai bulan Agustus 2010 ini, bagaimana perkembangan proyek Residence28 Kedoya ini? Belum 100 persen selesai. Semuanya ada 82 unit, terdiri dari tahap pertama 56 unit dan tahap kedua 26 unit. Satu townhouse dengan empat lantai, satu di basement, satu lagi di bawah atap. Semua orang melihat bahwa di sini bangunan tidak mendominasi, dan lebih banyak ruang hijaunya.

Tahap I sudah terjual 70 persen, sedangkan tahap II belum dipasarkan. Harga satu unit Rp 3 miliar (lebar 6 meter/340 m2) sampai Rp 4 miliar. Jumlah kamar ada tiga, tidak termasuk kamar PRT. Sebetulnya ada satu kamar kerja yang bisa untuk jadi kamar tidur.

Konsep townhouse ini urban village, konsep kampung di tengah kota. Desainnya modern minimalis karya Thomas Elliot, yang juga mendesain bangunan Hotel Gran Mahakam.

Mengapa Anda memilih konsep urban village? Kenapa? Karena kami mencari sesuatu yang berbeda. Zaman sekarang orang makin individual. Rumah dibuat dengan pagar. Tinggal di apartemen juga sendiri-sendiri. Bandingkan kalau dulu kita tinggal di kampung, terasa suasana yang lebih akrab karena ada ruang bersama. Dan rumah di kampung tak berpagar. Sementara rumah-rumah di kota, pagarnya tinggi-tinggi.

Menyadari masalah ini, kami berpikir kami harus membuat sesuatu yang berbeda yang bisa membuat penghuni berinteraksi.

Kami cari referensi, dan ternyata townhouse yang paling pas untuk proyek baru kami waktu itu.

Apa yang mendasari Anda membuat suasana townhouse ini tampak hijau? Pemikiran kami sejak awal, Jakarta terlalu banyak hutan beton, banyak bangunan yang masif. Awal tahun 2005, saat kami mulai berpikir akan membangun proyek townhouse, tema green property di Indonesia belum terlalu menggaung seperti sekarang ini.

Kebetulan saya sering membaca majalah National Geography. Saya lalu berpikir mengapa Indonesia kurang peduli pada pepohonan.

Untuk proyek townhouse ini, kami menanam pohonnya dulu, baru bangunannya. Antara lain pohon ketapang kencana, pohon sapu tangan, pohon manggis, melinjo, waru, mahoni. Kebetulan mitra saya suka menanam pohon. Jadi lanskap dikerjakan sendiri oleh mitra saya, yang background-nya real estate dari Arizona, Amerika. Kalau bikin sesuatu, lingkungan hijau harus dinomorsatukan.

Sekarang pohon-pohomnya kan sudah besar. Kalau kita hanya pindahkan pohon yang sudah jadi, pasti banyak yang mati. Kecuali pohon kamboja dari Bali three colors. Ada beberapa pohon yang usianya 70 tahun, kami pindahkan. Kalau pohon kamboja bisa dipindahkan. Pohon-pohon kamboja ini tergusur oleh proyek jalan di Bali dan kami mendapatkannya dari tempat penampungan.

Kami mau lingkungan hijau sudah jadi dulu. Di sebuah rumah, taman merupakan elemen yang sangat penting.

Konsep green property tentu tak sekadar menanam pohon, Apa lagi yang membuat townhouse ini layak menyandang eco-property? Kami memahami bahwa penhgertian hijau bukan sekadar pohon. Di tiap rumah, dibuat sumur resapan. Air dari talang akan masuk sumur dan masuk collective tank. Air daur ulang ini digunakan untuk menyiram tanaman dan pepohonan.

Demikian pula air kolam renang adalah air daur ulang. Intinya jangan buang air kotor ke luar karena air itu masih terpakai setelah proses daur ulang.

Keseriusan kami membangun dan menerapkan prinsip eco-property yang menyebabkan townhouse ini memenangkan FIABCI Indonesia Award 2010.

Siapa saja pembeli townhouse ini? Sebagian besar pembelinya orang Indonesia, sebagian daerah daerah seperti Sumatera dan Sulawesi. Orang yang menyekolahkan anaknya di Jakarta, dan menjadikan townhouse ini tempat persinggahan, dan mereka tak perlu menginap di hotel.

Orang yang mulai mau menikmati hidup, orang yang menikmati rumah bukan mengurus rumah.

Misalnya rumah di sini ditinggal pemiliknya ke luar negeri dalam waktu sebulan misalnya, PRT tetap bisa melakukan kegiatan sehati-hari. Kamar PRT, dapur ada di basement, yang menyambung ke garasi. Namun mereka tak bisa mengakses kamar keluarga dan kamar tidur di lantai lebih atas.

Kami membuat rumah ini sangat efisien. Pencahayaan maksimum. Siang tak perlu nyalakan lampu. Dan cross ventilation dari depan ke belakang karena living room tak ada sekat-sekat. Jadi angin langsung mengalir masuk. Living room tanpa sekat.

Kami memasarkannya dengan teknologi internet. Kami jarang beriklan di suratkabar. Hanya satu kali saja memasang iklan di Kompas setengah halaman saat awal proyek dibangun tahun 2008.

Kami memanfaatkan jejaring sosial facebook. Kami meng-upload foto-foto townhouse ini. Selain itu kami sering menggelar acara dengan undangan e-invitation. Lama-lama orang tahu dengan townhouse ini.

Kami sudah mengupayakan sewa untuk orang asing. Ada orang Jepang berminat. Di kawasan townhouse ini, ada rencana membangun fasilitas belanja? Kami tidak menyediakan tempat belanja di sini karena jumlah keluarga tidak terlalu banyak. Tapi kelak kami sediakan shuttle bus ke Carrefour di Puri Indah dan ITC Permata Hijau, atau Superindo di dekat sini, atau di supermarket lainnya di St Moritz.

Setelah proyek rumah sewa di Cipete dan proyek townhouse di Kedoya, apa proyek baru Anda? Setelah ini, kami menggarap proyek baru di daerah Fatmawati, Jakarta Selatan, yang masih didesain di lahan seluas 3 hektar. Lokasinya di pinggir jalan. Kami berencana membangun Office Park dan tempat komersial, dan alternatif lainnya. Lahan itu sebelumnya milik orang tua Hardiman, mitra saya dalam dua proyek properti sebelumnya. (Robert Adhi Ksp)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com