Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rumah Anugerah Ki Purbo Asmoro

Kompas.com - 12/04/2010, 09:05 WIB

oleh Frans Sartono

Kehadiran patung Anoman, tokoh dalam epos Ramayana itu, cukup menohok mata karena ukurannya yang besar. Anoman berdiri di ujung jalan masuk menuju kompleks perumahan seniman itu.

”Orang-orang di kampung mau bikin gapura. Saya usul yang nyeni yang menunjukkan identitas seniman,” kata Purbo.

Anoman mempunyai nama lain yaitu Mayangkara. Dan Mayangkara adalah nama kelompok karawitan pimpinan Purbo. ”Mayangkara itu singkatan dari Mangesti Wayang Kagunan Rahayu,” kata Purbo

”Rumah itu jati diri penghuninya. Kalau yang ngeyup (berteduh) berjiwa seni, maka yang nyeni itu akan terlihat di rumah,” kata Purbo.

Jati diri sebagai dalang terlihat dari motif gunungan pada jendela kaca. Juga kendang yang berada di ruang tamu. Sementara nyeni dalam ukuran Purbo itu antara lain ditunjukkan dengan adanya ukiran.

Misalnya, pada setiap pintu rumah, termasuk pintu masuk utama hingga pintu kamar, Purbo memasang lengkung dari kayu jati berukir. Motif ukiran ia rancang sendiri, sedang pengerjaannya diserahkan kepada seniman ukir dari Sukoharjo. Bahan lengkung berupa kayu jati ia datangkan dari Blora.

Hidupnya memang berada di lingkungan kesenian sejak dalam kandungan. Maklum Purbo adalah anak yang turun dari dalang wayang kulit asal Pacitan, Jawa Timur. Ayahnya Sumarno, kakeknya Suradi, dan kakek buyutnya Kromo semuanya adalah dalang. Purbo menjadi generasi dalang era sekolahan. Lulus Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI), di Solo, tahun 1982, Purbo melanjutkan ke Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) yang kini melebur dalam Institut Seni Indonesia (ISI), Solo, jurusan pedalangan dan lulus tahun 1986. Ia merampungkan studi S-2 Kajian Seni Pertunjukan Universitas Gadjah Mada 2003.

Keluarga seniman itu makin lengkap karena istri Purbo, Sudi Rahayu, juga pesinden. Sudi adalah teman sekolah Purbo di SMKI yang kemudian melanjutkan ke jurusan tari ASKI. Kedua anak Purbo juga juga bergelut di dunia karawitan.

Nanti kalau ketemu Anoman, masuk saja Mas,” kata seorang bapak saat diminta tolong menunjukkan lokasi rumah Ki Purbo Asmoro di perumahan seniman, Kampung Gebang, Kelurahan Kadipiro, Kecamatan Banjarsari, Solo. Di kompleks itu tinggal antara lain seniman dari kelompok Wayang Orang Sriwedari, Solo.

Rumah anugerah

Itu dulu, tahun 1988, ketika Purbo Asmoro pertama kali mempunyai rumah. Purbo (47) saat ini termasuk salah seorang dalang wayang kulit laris dari Solo, Jawa Tengah. Kini rumah Purbo tak lagi mungil, tetapi malah ada lima unit.

”Rumah ini anugerah Tuhan. Saya memulai kehidupan di sini. Baru setahun saya tinggal di sini, nama saya mulai dikenal,” kata Purbo yang ditemui di rumahnya di Kampung Gebang, Kelurahan Kadipiro, Solo.

Orang Solo, dulu, enggan tinggal di kawasan yang kini dihuni Purbo. Pasalnya, selain akses jalan yang susah, lokasi itu juga dekat dengan kuburan Bonoloyo. Pada lima tahun pertama, Purbo melakukan babat alas, alias kerja keras dan beradaptasi dengan kondisi lingkungan. ”Dulu, waktu kami masuk ke sini, rumah ini tidak ada fasilitas aliran listrik dan air bersih. Jalan masuk ke rumah juga becek seperti sawah,” kata Purbo mengenang masa dua dekade silam.

Namun, ia menjalani hidup dengan sukacita sebagai dalang yang saat itu mempunyai seorang anak berumur dua tahun. Kini suami dari pesinden Sudi Rahayu itu mempunyai dua anak, Indhung Prabancana (24) dan Kukuh Indrasmoro (19). Di rumah mungil itu pikirannya merasa semeleh, dan itu menjadikannya kreatif. Dan kreatif bagi dalang itu bisa berimplikasi laris ditanggap.

”Dulu waktu masih ngontrak, saya susah payu (laku). Begitu saya manggrok (menetap) di sini dan tidak berpindah-pindah, saya mulai banyak yang nanggap,” kata dalang yang lulus dari Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI), Solo, 1986, itu.

Alkisah, pada tahun 1988, Purbo mendapat kesempatan tampil di rumah dalang Anom Suroto di Kampung Notodiningratan, Solo. Saat itu, sejumlah dalang senior mengagumi permainan Purbo. Purbo sejak itu seperti mendapat jalan lapang untuk pentasnya hingga ia mampu membeli mobil.

Lima unit lima tahun
Setelah menempati rumah mungil, tepatnya tahun 1993, Purbo mampu membeli rumah berukuran sama yang terletak persis di samping rumahnya. Maka, rumahnya pun bertambah luas menjadi dua kali 60 meter persegi. Rumah sambungan itu ia fungsikan sebagai garasi mobil.

Purbo makin laris dan rumah pun makin luas. Tahun 1998, Purbo membeli lagi rumah yang juga persis berada di samping rumahnya. Maka, dalam waktu sepuluh tahun, rumah Purbo telah tumbuh tiga kali lipat. Ketiga rumah itu bergandengan dan menyatu berukuran 180 meter persegi dan direnovasi menjadi rumah ”three in one” berlantai dua. Lantai bawah menjadi ruang tamu, dapur, dan ruang makan. Lantai atas terdapat tiga kamar tidur, ruang gamelan, dan gazebo.

Dua dekade lewat setelah Purbo merintis dari bawah sebagai dalang dengan rumah mungil. Kini Purbo telah memiliki lima unit rumah yang berlokasi di sekitar rumah awalnya. Pertama berupa rumah induk di mana keluarganya bermukim. Rumah kedua belantai dua terletak persis di depan rumah induk. Lantai bawah berfungsi sebagai garasi yang memuat empat mobil, sedangkan lantai atas untuk studio wayang lengkap dengan seperangkat gamelan.

Unit ketiga berupa rumah gamelan terletak di antara rumah induk dan studio. Rumah joglo itu mempunyai fungsi sosial. ”Tetangga sering pakai untuk arisan ibu-ibu, rapat RT, atau resepsi perkawinan,” kata Purbo.

Rumah keempat berseberangan jalan dengan rumah induk dan digunakan sebagai studio musik untuk berlatih band. Sementara unit kelima kini tengah dibangun dan disiapkan sebagai padepokan seni di atas tanah seluas 1.000 meter persegi.

Cocok dan sukses

Duduk di sudut kiri ruang tamu rumah induk Purbo, kita bisa melihat bekas rumah pertama dan kedua dengan segala kisah di belakangnya. ”Rumah ini menjadi tempat suka-duka, tempat saya belajar hidup dan bekerja,” kata Purbo.

Dari pengalaman menghuni rumah sejak dalam kondisi tanpa listrik dan air bersih, Purbo mengambil pelajaran bahwa

rumah itu harus disyukuri sebagai berkah dan anugerah. Dari sikap itu akan tumbuh apa yang disebut sebagai kecocokan antara rumah dan penghuninya. Tanpa rasa syukur, maka tidak akan ada kecocokan.

”Rumah ini cocok bagi kami. Kalau tidak cocok, itu akan berpengaruh bagi penghuninya. Sukses itu ditentukan di rumah,” kata Purbo.

Sukses itu bisa diukur dari Purbo yang merintis dari bawah. Dalang dari Desa Dersono, Kecamatan Pringkuku, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur, itu mulai sebagai dalang yang pentas di desa-desa menjadi dalang yang sering tampil di luar negeri dan Istana Negara, Jakarta.

”Yang jelas segalanya ini berasal dari sana,” kata Purbo sambil menunjuk ke atas. ”Tetapi, saya bisa jadi orang seperti ini setelah saya manggrok di rumah ini.

Jadi, berkah itu melindungi rumah ini,” kata ki dalang. (Sumber: KOMPAS Minggu)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com