Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Semangat Keterbukaan di Rumah Yudi Latif

Kompas.com - 21/03/2010, 16:45 WIB

oleh Ilham Khori 

Rumah mencerminkan pemiliknya. Mungkin itu pepatah lama, tetapi bertemu dalam diri Yudi Latif (45). Rumah intelektual Muslim yang dikenal memiliki gagasan lintas-batas ini penuh semangat keterbukaan, melegakan, dan nyaris tanpa sekat.

Butuh sedikit kegigihan untuk menemukan rumah Yudi Latif. Saat janjian lewat telepon seluler, dia kirim pesan, ”Kompleks Depkes, Jalan H Umaidi, Rawa Bambu, Pasar Minggu, Jakarta Selatan.” Namun, begitu tiba di perumahan tersebut, ternyata rumah dimaksud berada luar kompleks.

Rumah Yudi agak tersembunyi, tepat di pojokan tikungan jalan kecil. Jalan ini pun harus ditemukan setelah menyelinap keluar lewat samping kiri-belakang kompleks. Lahan rumah Yudi berbentuk mirip kantung, yakni agak sempit di bagian depan, tetapi meluas di bagian belakang.

Begitu masuk pekarangan, segera terasa keteduhan yang dalam. Halaman depan dan samping kiri rumah dinaungi tanaman bunga dan pohon buah seperti mangga, srikaya, dan pohon tinggi runcing mirip cemara. Hiruk-pikuk kemacetan di Jalan Raya Pasar Minggu, yang berjarak 500-an meter, tak terdengar lagi. Mungkin diredam tetumbuhan.

”Di sini kami menemukan suasana istirahat yang berjarak dari kegaduhan, tapi juga punya akses menuju pusat kota,” kata pemikir kenegaraan dan keagamaan itu.

Lelaki ramah itu menyambut kami dengan santai, Rabu (17/3) itu. Kami berbincang ditemani Linda Natalia Rahma (42), istri Yudi. Ada juga anaknya yang lucu, Binar Aqlia (3), dan kakaknya, Bening Aura Qalby (7). Dua anak lelaki Yudi sedang sekolah di Amerika.

Rumah seluas 300-an meter persegi itu berada di atas lahan sekitar 436 meter persegi. Rumah itu dibeli dalam keadaan ”jadi” tahun 2005. Bangunan yang ada tak banyak diubah karena dianggap cukup cocok dengan kebutuhan keluarga ini.

Terbuka
Suasana terbuka pertama-tama mengental pada ruang tamu yang sekaligus jadi ruang keluarga. Ruang seluas 100-an meter persegi itu dibiarkan tergelar tanpa sekat.

Satu set meja dan kursi tamu diletakkan di bagian depan ruang. Bagian tengah diberi sofa. Dinding kiri ditempeli beberapa lukisan dan kliping koran.

Beberapa rak putih berjejer menempel pada dinding bagian kanan tengah sampai belakang. Rak-rak itu penuh buku dengan beragam judul. ”Buku-buku ini tidak ditata berdasar tema, tapi saya ingat letaknya,” kata doktor bidang sosial-politik lulusan Australian National University, Australia, itu.

Ruangan ini terasa makin lega karena plafon dibuat rata, tanpa ornamen. Dari sini langsung bisa diakses ruang makan dan mushala di bagian belakang. Hanya ada bufet kaca sebagai pemisah antara ruang tamu dan ruang makan.

Saat baru dibeli dulu, cerita Yudi, ada dua tiang di ruang tamu itu. Plafonnya juga dihiasi ornamen. Ada juga sedikit penyekat ruangan bagian tengah. Semua itu kemudian dihilangkam saat renovasi.

”Ruang ini sering dipakai untuk pengajian, kumpul keluarga, dan diskusi,” kata Yudi, yang menjadi Kepala Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Indonesia (PSIK).

Suasana terbuka juga terasa di dapur yang terletak di samping kiri bangunan. Dapur itu cukup longgar dan menyambung dengan ruang makan. Yang menarik, atap dua ruang itu dibuat dari polikarbonat transparan sehingga sinar matahari siang leluasa masuk menerangi rumah.

Privat
Meski cenderung terbuka, rumah itu juga punya ruang-ruang privat. Ada enam kamar di dalam bangunan itu. Tiga di antaranya merupakan kamar utama untuk Yudi bersama istri dan anak-anaknya.

Salah satu ruang anak, yang berada di samping kiri ruang tamu, juga dimanfaatkan menjadi ruang kerja. Sebuah dipan dengan jeruji tinggi untuk tidur si kecil diletakkan di tengah. Di sampingnya, ada satu set meja-kursi dan komputer.

”Saya nyaman menulis di sini, terutama setelah bangun tidur. Kalau sudah menulis, biasanya saya suka menyendiri tanpa diganggu sampai menyelesaikan satu pokok pikiran,” papar pemikir sosial keagamaan dan kenegaraan yang telah menerbitkan 10-an buku itu.

Begitulah, rumah itu memberikan keseimbangan antara keterbukaan dan privasi. Keterbukaan terletak pada tata ruang yang cenderung minim sekat. Privasi terasa pada kamar-kamar yang nyaman untuk istirahat.

Keseimbangan semacam itu rupanya membuat Yudi betah tinggal di rumah. Atmosfer inilah yang menjaga mood-nya untuk mengolah dan menuliskan gagasan-gagasannya yang bernas dan jernih. Tentu saja, terbuka, dan melintas batas.

Penuh Rasa Syukur

Setiap jengkal rumah ini penuh rasa syukur dan terima kasih,” kata Yudi Latif. Maksudnya, rumah itu diperoleh berkat limpahan rezeki dari Allah dan bantuan taman-temannya.

Yudi bercerita, sepulang studi dari Australian National University, Australia, tahun 2004, dia dan keluarga ngekost di kawasan Jatibening, Bekasi. Lokasi tinggal itu membuat dia kerepotan saat harus menghadiri acara-acara pagi hari di pusat kota Jakarta. Dia berusaha mencari rumah yang tak terlalu jauh dari kota, tetapi harganya terjangkau.

Kebetulan, dia dapat kabar, ada seorang polisi yang jual rumah. Rumah itu sulit laku karena posisinya berada di belakang kompleks Depkes di Pasar Minggu dan akses jalannya kecil. Harga jualnya cukup murah dibandingkan harga rumah dalam kompleks.

”Memang akses jalan agak susah karena kecil dan menyelinap di belakang kompleks. Tapi, rumah itu cukup tersembunyi, sepi, dan enak untuk istirahat. Akses menuju pusat kota dan ke Jalan Tol TB Simatupang juga mudah,” kata Yudi.

Suasana itu dibutuhkan Yudi yang waktunya banyak dihabiskan di ruang publik yang gaduh. Rumah itu memberinya jarak dari keriuhan.

Kebetulan, istrinya, Linda Natalia Rahma, juga menyukainya. Katanya, ”Suasana di sini tenang dan masih banyak pepohonan. Airnya bening.”

Tahun 2005, pasangan itu membeli rumah yang mereka tempati sekarang. Sebagian dana pembelian dibantu sejumlah teman. Karena itulah, Yudi menyebut, setiap jengkal rumah itu dipenuhi syukur dan terima kasih.

Keluarga itu kini semakin kerasan tinggal di kampung Betawi. Berada di tengah masyarakat membuat mereka lebih dekat dengan problematik sehari-hari. Dia kerap menghadiri hajatan. Istrinya rajin ikut pengajian bersama ibu-ibu setempat.

”Kami terlibat dengan berbagai urusan masyarakat, mulai dari membantu menyekolahkan anak, bayar SPP, sampai mencarikan kerja,” kata Yudi.

Lingkungan itu juga terus menjaga kesadaran sosialnya. ”Di luar, saya bertemu banyak orang, termasuk para pengusaha kaya. Ketika kembali ke rumah, saya masih merasa jauh lebih beruntung karena ada banyak orang-orang di sekitar yang kekurangan.” Itu juga yang membuat Yudi tak putus mengucap rasa syukur. (Sumber: KOMPAS Minggu)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com