oleh BM Lukita Grahadyarini
Ke manakah arah program pembangunan perumahan rakyat? Pertanyaan itu terasa menggelitik tatkala menguat keraguan masyarakat terhadap komitmen pemerintah untuk merumahkan rakyat. Setidaknya 8,6 juta penduduk Indonesia saat ini tak bisa memiliki rumah dan jumlah itu masih mungkin bertambah.
Program bantuan pembiayaan perumahan yang digulirkan pemerintah sejak tahun 2007 bagi masyarakat menengah ke bawah, atau disebut program subsidi perumahan, tersandung sejumlah persoalan. Sepanjang tahun 2009, misalnya, subsidi kepemilikan rumah susun sederhana milik (rusunami) hanya tersalur untuk 62 unit dari total pengajuan subsidi sebanyak 2.000 unit.
Program subsidi perumahan menjanjikan masyarakat berpenghasilan di bawah Rp 4,5 juta per bulan memperoleh bantuan uang muka rumah ataupun subsidi selisih bunga kredit. Hunian bersubsidi berupa rumah susun sederhana milik yang harganya dipatok maksimum Rp 144 juta per unit dan rumah sederhana sehat dengan harga maksimum Rp 55 juta per unit.
Subsidi diberikan kepada tiga kelompok sasaran, yakni masyarakat berpenghasilan Rp 3,5 juta-Rp 4,5 juta per bulan (kelompok I), berpenghasilan Rp 2,5 juta-Rp 3,5 juta per bulan (kelompok II), dan berpenghasilan Rp 1,2 juta-Rp 2,5 juta.
Untuk konsumen rumah susun sederhana, nilai bantuan uang muka rumah Rp 5 juta-Rp 7 juta. Adapun untuk subsidi selisih suku bunga, kelompok I dikenai bunga 9,85 persen selama empat tahun. Kelompok II sebesar 8,85 persen untuk masa enam tahun dan kelompok III sebesar 7 persen selama delapan tahun. Jika tenor subsidi selisih bunga itu berakhir, konsumen rumah susun dikenai suku bunga pasar.
Dalam sebuah seminar pembiayaan properti di Jakarta, Menteri Perumahan Rakyat Suharso Monoarfa mengaku kecolongan. Kepemilikan rumah susun sederhana milik yang seharusnya diprioritaskan untuk rakyat kecil telah menjadi ladang investasi. ”Ada yang membeli rusunami untuk investasi kos-kosan,” ujarnya.
Guna menekan distorsi program perumahan rakyat, pihaknya berencana menggulirkan program baru subsidi, berupa subsidi langsung dengan cara menekan suku bunga kredit pada kisaran 7-8 persen per tahun selama jangka waktu pinjaman. Harapannya, masyarakat menengah ke bawah teringankan dalam mencicil rumah sehingga daya beli meningkat.
Pemerintah sedang mempersiapkan pembentukan lembaga penyedia fasilitas likuiditas yang berfungsi memberikan tambahan modal bagi perbankan dan tanpa dikenai bunga. Dengan demikian, bank diharapkan mampu menekan biaya pinjaman perumahan sehingga suku bunga kredit perumahan dan kredit konstruksi akan turun.
Permodalan lembaga penyedia likuiditas itu rencananya dihimpun dari APBN dan instansi yang memiliki tabungan perumahan seperti Bapertarum, serta Jamsostek. Penerapan pola subsidi baru dengan fasilitas likuiditas ditargetkan efektif mulai pertengahan tahun 2010.