Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ardi Joanda: Belajar dari Keuletan Ibunda (1)

Kompas.com - 07/12/2009, 21:03 WIB

KOMPAS.com - Bagaimana tren furnitur high-end tahun 2010? "Tren furnitur rumah-rumah kelas atas akan kembali ke tren tradisional klasik yang lebih ringan, yang sering kali disebut sebagai american classic. Tren warna furnitur tetap pada warna hitam, putih, dan warna kayu. Sedangkan tren warna material, kombinasi warna metal stainless dan warna silver," kata Ardi Joanda, President Medici Living, perusahaan furnitur high-end dalam percakapan dengan Kompas.com di sebuah restoran di Permata Hijau, Sabtu (5/12) lalu.

Menurut Ardi,  informasi mengenai produk interior yang tersebar di dunia maya dan di berbagai media massa cetak, membuat pengetahuan pemilik rumah semakin maju. Selain itu, makin banyak orang Indonesia yang berkunjung ke rumah-rumah indah di luar negeri dan dalam negeri sehingga pengetahuan tentang rumah pun makin luas.

"Saat ini dan di masa mendatang, peran desain interior dan arsitek akan semakin penting dalam menangani rumah-rumah kelas menengah atas. Untuk itulah furnitur juga penting mengikuti tren. Kami bukan lagi sekadar toko furnitur, tapi kami ingin bersama-sama arsitek dan desainer interior, ingin mewujudkan rumah idaman mereka. Ini sesuai slogan kami Live Your Life Best," ungkap Ardi Joanda, yang sebelumnya pernah bekerja di Da Vinci.

Setelah 13 tahun bergabung dengan Da Vinci, dan terakhir pada posisi sabagai CEO Da Vinci, Ardi memutuskan keluar dengan alasan pribadi. "Saya ingin pindah kuadran, menjadi pengusaha," katanya. Bulan Januari 2006, Ardi merintis usaha es Charmy Ice bersama Lawrence Pan, saudara angkatnya dari Taiwan.

Akhir tahun 2007, Ardi menerima telepon dari pemasok furnitur dari Amerika Serikat. "Mereka mempercayakan saya untuk memasarkan produk-produk mereka. Tahun 2008, Medici Living, perusahaan baru furnitur high-end didirikan. Nama Medici menentukan filosofi perusahaan karena keluarga Medici adalah patron dari berbagai bidang aspek kemanusiaan, politik, seni, agama, arsitek," ungkapnya.

Tahun 2008, Medici Living membuka ruang pamer di Belezza, Permata Hijau, Jakarta Selatan, dan diresmikan oleh perwakilan dari Kedutaan Besar Amerika Serikat di Indonesia. Medici memang mengkhususkan diri memasarkan produk-produk Amerika. Klien Medici pada umumnya keluarga kalangan atas, yang mengetahui produk ini dari mulut ke mulut.

 
Belajar dari keuletan ibunda
Siapa Ardi Joanda, pengusaha furnitur papan atas ini? Lahir di Pontianak, Kalimantan Barat, 15 Januari 1970, Ardi besar dari keluarga sederhana. Ibunya, Lucy Jo, seorang perempuan yang ulet, yang membuat es krim untuk dijual ke sekolah-sekolah. Es krim itu dititip di kantin-kantin sekolah.

Setelah itu, ibu Ardi beralih ke usaha konveksi pakaian anak kecil, sedangkan ayahnya, Paulus Sun, bekerja di bagian pembukuan di sebuah perusahaan. Bersama kakaknya,  Antonius Yondi, Ardi mengantarkan barang konveksi pesanan ke toko-toko di Pontianak. Mereka berdua mengendarai sepeda, membawa bundelan besar berisi pakaian untuk diantar ke toko-toko. Ardi dan Yondi membantu ibunya yang membuka toko di sebuah pasar di Jalan Sudirman, Pontianak. Sebelum berangkat sekolah, Ardi menjaga toko sambil belajar mengerjakan PR. "Ketika saya masuk sekolah, koko yang mengganti jaga toko," urai Ardi.

"Saya belajar banyak dari mami yang memang lahir dari keluarga pedagang, bagaimana berdagang dengan ulet. Pernah suatu hari, kami tak boleh lagi berjualan es di sekolah, padahal es yang dibuat mami sangat laris. Tapi mami tidak putus asa. Pengalaman pahit dalam kehidupan sebelumnya, ternyata menjadi cambuk yang membentuk motivasi. memberikan booster untuk berhasil dalam usaha. Kondisi seperti ini melatih kami sekeluarga untuk bisa berdikari dan mandiri. Justru dengan berbagai kendala, kami mendapatkan pelajaran yang bermakna," cerita Ardi Joanda.

Menurut Ardi,  hidup ini memang  unik. "Setiap orang terlahir dengan rezeki dan nasib berbeda. Ada orang yang terlahir dari keluarga kaya, dan ada yang lahir dalam kondisi keluarga yang miskin. Tapi itu semua bukan berarti menjadi penentu masa depan. Ibarat memancing, ada orang rezekinya cukup lempar dua kali, langsung dapat ikan. Tapi ada yang harus lempar lima kali atau 10 kali, baru dapat ikan. Kita harus menyadari kapasitas yang kita miliki. Dan kita bekerja berdasarkan kapasitas yang dimiliki. Kalau ternyata baru 10 kali berusaha, kita baru dapat satu, itu artinya kita harus bekerja lebih keras," ungkap anak kedua dari tiga bersaudara itu.

Ardi bersyukur karena kedua orangtuanya memiliki prinsip, anak-anak harus mengenyam pendidikan tinggi demi masa depan yang lebih baik. Untuk itulah kedua orangtua Ardi rela membanting tulang agar Ardi dan dua saudaranya dapat melanjutkan pendidikan tinggi.

Sejak duduk di SD Gembala Baik dan SMP Bruder di Pontianak, Ardi selalu menjadi murid terbaik. "Setelah lulus SMP, mami ingin saya melanjutkan SMA di Jakarta. Mami men-support saya agar bisa sekolah setinggi mungkin. Saya merasa orang yang penuh berkah. Ketika dalam kondisi kekurangan, Tuhan membantu melalui orang lain. Ketika masuk SMA St Yoseph Dwiwarna, Manggabesar, Jakarta Barat, dengan segala keterbatasan biaya, ada yang memberi dukungan kepada saya," katanya.

Ardi pindah ke Jakarta karena melihat banyak temannya melanjutkan SMA di Jakarta. Walaupun belum tahu akan tinggal di mana dan bersekolah di mana, ibunda Ardi memberi dukungan yang kuat kepada anaknya. 

"Akhirnya berkat bantuan mami, saya dapat sekolah di SMA St Yoseph. Ternyata saya generasi pertama karena sekolah itu baru dibuka. Kepala sekolah Lanny Arifin, Kepala SMA ini sangat demokratis, yang memberi kesempatan kepada para siswa membuat kreativitas. Suami kepala sekolah itu pedagang dan pengusaha. Bu Lanny berbeda dalam menerapkan pendidikan. Sebagian besar ide kegiatan berasal murid. Kami sangat akrab satu sama lain, dan tak ada kesenjangan," tuturnya.

Ardi mengaku sangat terkesan pada Kepala SMA Lanny Arifin. "Saya ditunjuk sebagai Ketua Panitia St Yoseph Cup, pertandingan olahraga yang diikuti 13 sekolah katolik di Jakarta. Padahal SMA St Yoseph Dwiwarna itu baru dua tahun berdiri," ungkapnya.

Di Jakarta, pada tahun pertama, Ardi tinggal bersama saudara jauh di Tanah Abang, tapi kemudian dia kos di Jalan Pangeran Jayakarta. Pada tahun kedua, Ardi diminta tinggal di rumah teman satu sekolah. "Orangtuanya meminta saya untuk menemani anaknya sekaligus mengajarinya. Saya tinggal di sana gratis. Saya merasa menjadi orang yang diberkahi. Dan tinggal di rumah orang, saya tahu diri. Saya harus ringan-tangan, membantu pekerjaan rumah. Saya makin memahami kehidupan sebenarnya," kata Ardi. (ROBERT ADHI KSP)

(Bersambung)
 
 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com