Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menilik Dilema Air Bersih

Kompas.com - 18/11/2009, 06:07 WIB

KOMPAS.com - Tidak ada kehidupan tanpa air. Manusia, tumbuh-tumbuhan, atau binatang butuh air untuk hidup. Namun, ini justru ironisnya. Di Bumi yang 70 persen wilayahnya terdiri dari air, kehidupan umat manusia kini justru terancam karena terbatasnya air bersih yang bisa dikonsumsi.

Air bersih dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan minum, memasak, dan kebersihan badan. Ketika air di Bumi jumlahnya makin terbatas, air laut belum bisa dimanfaatkan optimal karena desalinasi air laut masih terlalu mahal.

Kita, warga di kota-kota besar di Indonesia, masih beruntung karena bisa nyaman mengonsumsi rata-rata 250 liter air per hari. Di negara besar seperti AS penduduknya memanjakan diri dengan mengonsumsi 265 liter air per hari di rumah mereka dan tambahan 378 liter air per hari untuk kegiatan di luar rumah.

Akan tetapi, di beberapa negara ada lebih dari 2 juta orang yang harus berjuang sekadar untuk mendapatkan 20-30 liter air per hari untuk minum, memasak, dan mandi. Sekitar 30.000 anak di berbagai belahan dunia mati karena berbagai penyakit yang terkait dengan ketersediaan air bersih.

Lalu apa hubungan ketersediaan air dengan pemanasan global? Pemanasan global sendiri sebenarnya merupakan fenomena peningkatan suhu Bumi karena terjadinya efek rumah kaca akibat lonjakan emisi gas rumah kaca, seperti karbon dioksida (CO), metana (CH), nitro oksida (NO), dan CFC, sehingga panas matahari terperangkap di atmosfer. Panas inilah yang memberi dampak serius pada lingkungan, seperti pelelehan es di kutub, kenaikan muka air laut, perluasan gurun, peningkatan hujan dan banjir, serta perubahan iklim ekstrem.

Di tengah perubahan iklim ekstrem dan cuaca ekstrem itulah ketersediaan air bersih menjadi genting. Kekeringan ekstrem menyebabkan keringnya sumber air di banyak tempat. Sementara itu, banjir yang melanda banyak bagian dunia juga menyebabkan air hujan terbuang percuma karena akhirnya masuk ke laut.

Persoalan air bersih di kota menjadi lebih genting kondisinya. Tak usah jauh-jauh, bicara Jakarta saja, masyarakat yang terjangkau pelayanan air bersih dari Perusahaan Air Minum (PAM) baru 59 persen. Lebih dari 40 persen warga Jakarta dibiarkan memenuhi kebutuhan dengan menyedot air dari sumber air di dalam tanah atau dari sungai yang sarat pencemaran.

Sementara itu, dengan pengawasan minim, praktik-praktik pengisapan air tanah makin tidak terkendali sehingga kini sudah memenuhi 70 persen kebutuhan warga.

Padahal air tanah merupakan salah satu sumber daya yang bersifat terbatas. Adapun pemulihan air tanah juga sulit. Pemulihan atau pengisian kembali air tanah hanya bisa didapat dari air hujan, yang sebagian meresap ke dalam tanah-jumlahnya tergantung dari jenis permukaan (tanah atau beton).

Sementara itu, untuk air permukaan di sungai, danau, atau mata air, kondisinya sama memprihatinkan. Lepas dari kualitas air permukaan yang juga menjadi masalah besar—akibat pencemaran berbagai industri dan limbah rumah tangga—ketersediaannya pun makin terbatas.

”Kita terjebak pada perilaku dan kebiasaan hidup yang tidak mendukung keseimbangan alam. Kita membuang limbah dan sampah ke tanah atau ke sungai. Kita tidak membuat kawasan resapan air. Kita tidak hidup secara bersih, sehat, dan ramah lingkungan. Soalnya lebih pada kesadaran yang belum terbangun,” ujar Direktur Unilever Indonesia Josef Bataona.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com