Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Moelyono, Seni untuk Rakyat

Kompas.com - 18/10/2009, 22:14 WIB

Oleh Ilham Khoiri

Jika banyak seniman kontemporer menikmati hidup di tengah kota besar, dia minggir dan tinggal di kampung. Ketika para pelukis gencar mengangkat budaya urban seraya berpameran dari galeri ke galeri, dia berkelana di desa-desa demi memberdayakan rakyat miskin lewat kesenian. Saat sebagian seniman makin makmur dan berjarak dari kehidupan nyata, dia masih setia pada komunitas desanya.

Dialah Moelyono (52), seniman yang memilih tinggal di Desa Winong, Kecamatan Kedungwaru, Tulungagung, Jawa Timur. Dia bergabung dalam kehidupan masyarakat desa, mengajak mereka berkesenian, dan mengungkapkan masalahnya lewat bahasa rupa. Bersama komunitas itu, kemudian dia berusaha mendorong penyadaran, kebebasan berpikir, daya kritis, dan kemandirian.

Gerakan semacam itu membuat sosok ini lekat dengan gagasan  ”seni rupa penyadaran”. Dalam pemahamannya, para seniman seyogianya masuk dalam geliat kehidupan nyata rakyat bawah. Lewat kesenian, seniman dan rakyat bersama-sama melakukan pemberdayaan sosial, ekonomi, dan politik.

Dia percaya, seni bisa jadi cara yang dipelajari dan ditularkan untuk menggugah dan meningkatkan kesadaran kelompok masyarakat. Seni bisa menjadi media untuk mengungkapkan berbagai masalah sosial dan mendialogkannya demi mencari jalan keluar. Rakyat dan seniman sama-sama jadi subyek yang aktif memperjuangkan perubahan hidup lebih baik. Gagasan ini dipraktikkan Moelyono lebih dari 20 tahun, sejak tahun 1980-an sampai sekarang. Berawal dari pergumulan bersama nelayan miskin di Brumbun, Tulungagung selatan, dia lantas berkeliling menjelajah pelosok Nusantara: mulai dari Pacitan, Surabaya, Lombok, Kupang, Aceh, sampai Papua dan Wamena. Gerakan ini berhasil merekam dan menyuarakan berbagai persoalan mendasar di masyarakat bawah lewat bahasa seni rupa.

”Dalam estetika Jawa, seni itu disebut kagunan. Artinya, seni itu harus berguna. Apa pun yang dilakukan seniman seharusnya punya manfaat bagi seniman sendiri dan masyarakat,” kata Moelyono di Jakarta beberapa waktu lalu.

Kami berbincang saat penyelenggaraan pameran ”Topografi Ingatan: Fragmen Kesaksian Moelyono/Guru Gambar” di Koong Gallery, City Plaza, Wisma Mulia, Jakarta, September. Dalam pameran dengan kurator Hendro Wiyanto itu, seniman ini menampilkan beberapa instalasi, lukisan, dan drawing. Sejumlah instalasi dilapisi lumpur tanah.

Karya-karya itu merekam sosok seniman dan wong cilik di Tulungagung, Pacitan, dan Blitar. Ada pemain ludruk, penari, pemain wayang, penjual nasi bungkus, dan petani. Orang-orang yang sebagian tersangkut dalam kasus G30S tahun 1965 itu diabadikan lewat drawing, instalasi yang dibungkus lumpur, lukisan potret, dan video.

”Kesenian itu membuat mereka bertahan menghadapi berbagai kesulitan hidup. Seni juga jadi media rekonsiliasi dan penyembuhan diri,” kata Moelyono.

Guru gambar

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau