AMSAL UNGGUN
: n.a
aku belum juga paham bahasa yang menyusun dirinya
dalam hangat tubuhmu. jarak terlalu tajam dan menyayat
kukira kau jelmaan unggun pada sebuah ritus suci
mengucurkan hangat lain di paruparu malam
dan mereka yang duduk melingkar di sekelilingmu
seperti juga rindu, mengendap pada dasar cawan nadiku
setelah unggun tinggal jelaga dan asap membumbungkan kenangan
aku masih mengais sisa hangatmu dari dinding tipis angin
Tanah Serang,2009
RUPANYA
rupanya kilap lesung pipimu, parasmu yang bundar namun likat,
dan gerik tubuhmu saat berjalan tak juga hengkang dari tubir
ingatanku. menjuntai serupa akar beringin tua.
rupanya ingatanku yang berwarna darah, secangkir kisah
yang tersaji di meja kenangan, dan denyut nadi yang entah kapan
berkelindan di gubug nyawamu tak juga lelah memintal sebaris nama
-hawa
Tanah Serang,2009
HALTE
sengaja kita menghidangkan penantian
memberi nama setiap dengus napas
dengan ketergesaan yang tak lagi
berparas temaram
dan orangorang berdiri
sambil mengepulkan cerita
serta gemuruh jantung
dari patahan peristiwa
Tanah Serang, 2009
CATATAN AKHIR
:nin,setelah aku lelah mengenangmu
kita menamai setiap kepergian
dengan gemetar yang selalu terulang
di sini airmata menulis separuh cerita
yang akan dirampungkan saat waktu
mengenakan kabut
waktu yang masih menghidangkan jarak
di lorong almanak pada detak pelan
nadi kita
mimpimimpi tawar yang melaju di kedua belah mata
minta diberi rasa.namun kita kehabisan rasa
kita hanya punya wajah yang tinggal setengah
Tanah Serang,2009
PELUK
kamar lengang tanpa suara adalah pelukanmu pada suatu gerimis
yang mengeja luka.
aku mencacah setiap ingatan yang berulangkali
menghanyutkanku dalam kesedihan badai.kesedihan yang juga
seperti daunan kering, serakan di suatu taman dan seseorang datang,
menghimpunnya kemudian menjahitkan api.
doadoa melintas antara gemeretak pelan dedaun terbakar, juga mimpi.
tak sempat dibacakan nasib pada sebuah pertunjukan
dengan judul seramai tirai hujan
dan pelukanmu sekarang menjelma krematorium. mengabukan
jengkal demi jengkal jasadku
Tanah Tangerang, 2009
MALAM LEMBANG DIBALUT HUJAN
dingin yang pecah dari pembuluh malam
belum mampu membekukan
remah perbincangan kita
langit menjulurkan hujan
menciptakan ceruk kecil kenangan
dan menambah perih setiap tikung ingatan
yang sejak dahulu perlahan kuhanguskan
dalam tiap kobaran doa.namun berkalikali
kuhanguskan
berkalikali juga ia lahir kembali sebagai
ingatan baru.
(di kantung riwayat sangkuriang melata
pada labirin doa.sedang sumbi kembali menjadi
rusuk yang melekat di iga waktu)
Tanah Bandung,2009
MUNGKIN MALAM INI
mungkin malam ini aku perlu membenahi kenangan
yang tak sempat kau bawa pergi seluruhnya.yang tersisa
setelah tahun menghampar seperti sebuah permadani
dalam ruang tamu tempat setiap pertemuan dan perpisahan
dirayakan.
kenangan itu sepertinya perlu didekorasi ulang,sehingga
tak menyulam kecemasan dalam kamar di selongsong
kepalaku.sehingga aku dapat lebih sempurna menirukan
gerakan debu kala tertiup angin
Tanah Tangerang, 2009
Rozi Kembara, lahir di Tasikmalaya 27 Juni 1990. Sajak-sajaknya dipublikasikan di Majalah Sastra Horison, Harian Radar Banten dan termaktub dalam anotologi puisi Wajah Deportan.
Mengelola Blogsite : www.penyairamatir.co.cc. Berkegiatan di Komunitas Kubah Budaya.