Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ekspresi Opera Nyoman Gunarsa

Kompas.com - 13/05/2009, 22:05 WIB

KOMPAS.com - Tujuh penari Bali tersebut saling melirik. Ada yang hanya berlenggok dengan mengangkat selendang, ada yang sembari menabuh kendang, meniup seruling dan flute, ataupun menggesek biola. Semua bersatu secara harmonis dalam perpaduan gerak dan instrumen.

Salah satu lukisan cat minyak berukuran 200 sentimeter x 300 sentimeter tersebut terpampang di bagian terdepan ruang Amartapura Hotel Grand Candi, Kota Semarang. Karya itu hanya salah satu dari 58 lukisan Nyoman Gunarsa dalam pameran tunggal bertajuk Opera Khayangan pada 13-17 Mei.

Maestro seni rupa asal Bali ini mencoba mengeksplorasi keindahan lekuk tarian tradisi yang dinamis, rancak, dan berirama. Gerak tari itu sangat pelik, tetapi menarik. Itu merupakan ekspresi yang dapat dituangkan menjadi lukisan, ucap lelaki kelahiran Klungkung, Bali, 15 April 1944.

Bagi Nyoman, menuangkan bentuk tarian seperti, gerak lentik jemari, hentakan kaki, lirikan mata, dan bunyi alat musik melalui sapuan cat ke dalam kanvas merupakan sebuah tantangan. Opera Khayangan merupakan bentuk pengendapan jiwanya dalam menggarap perpaduan gerak tari dan alat musik modern.

Seluruh karyanya tidak hanya mengeksplorasi tarian tradisi dan kegiatan sang penari. Ia juga memasukkan unsur alat musik modern ke dalam lukisan, seperti biola, flute, dan simbal sebagai pendukung. "Hal yang modern sifatnya hanya untuk memperkaya khazanah budaya lokal bukan untuk menggeser identitasnya," kata Nyoman.

Nyoman mempertegas keindahan gerak tari dalam karyanya dengan torehan warna-warna cerah. Kelihaiannya dalam menampilkan sisi detil juga terlihat dari mimik penari serta pernak-pernik yang dibawakan dalam tarian.

Pengajar Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta ini seolah ingin mengambi ruh tarian dan memanifestasikannya ke dalam karya dua dimensi tanpa berusaha mengaburkan esensi budayanya.

Seniman jebolan ISI Yogyakarta tahun 1976 ini mengakui, dua tahun terakhir merupakan fase pascamoksa sebagai bentuk kebebasan berekspresi. Nyoman pernah melewati periode akademis, yang dilaluinya dengan mendalami teori-teori melukis dan sejarah seni rupa. Kemudian, periode Arringgit, yang dihabiskannya untuk melukis gerakan-gerakan tari nan dinamis. Dan, periode moksa, yang merupakan fase permenungan bagi Nyoman.

Pada periode pascamoksa inilah, Nyoman mengalirkan ekspresi tanpa coba dibatasi. Tak ayal, seluruh karya yang dipamerkannya hanya selesai dalam waktu sekitar satu tahun. "Saya kerjakan ketika saya sedang mood," ucapnya sambil tersenyum lebar.

Sejak tahun 1952, salah satu maestro seni rupa Indonesia ini telah mengenal dan belajar dari pelukis Eropa seperti Rudolf Bonnet, Le Mayeur, dan Don Antonio Blanco, yang sempat tinggal dan menetap di Bali. Hal ini untuk memperkaya penguasaan seninya.

Heri Nurbaya, mahasiswa didikannya di ISI Yogyakarta, mengagumi semangat berkesenian Nyoman Gunarsa. Seniman asal Pati ini berpendapat, Nyoman memiliki karakter dalam karya-karyanya yang tidak muncul dalam seniman muda sekarang ini.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com