Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cubic House, Alternatif di Pusat Kota

Kompas.com - 10/04/2009, 21:58 WIB

KOMPAS.com - Terbatasnya lahan di lingkungan perkotaan, khususnya kota-kota besar, sering kali tidak berimbang dengan tingkat kebutuhan hunian sangat tinggi.

Tingginya harga tanah pun turut menjadi faktor penyebab masyarakat kota besar seolah hanya memiliki dua pilihan: tinggal di pinggir kota atau menempati hunian vertikal di pusat kota.

Tinggal di pinggir kota akan menjauhkan masyarakat dari lingkungan kerja yang berpengaruh pada semakin panjangnya waktu tempuh dan membesarnya pengeluaran untuk biaya transportasi. Belum lagi permasalahan lain, seperti tingginya tingkat kemacetan, polusi udara yang kerap melebihi ambang batas, jalan berlubang, hingga hadangan banjir.

Tinggal di hunian vertikal sebagaimana sedang dikembangkan di berbagai kota di Indonesia dalam wujud rumah susun juga memunculkan berbagai permasalahan baru. Pola hidup yang berbeda, jalinan kekerabatan sosial yang kerap menuju individualis, hingga terbatasnya akses memenuhi kebutuhan dan kegiatan sehari-hari bagi yang tinggal di lantai tiga ke atas.

Perubahan pola hunian horizontal menuju vertikal, bagi masyarakat Indonesia tentu saja tidak mudah. Kebutuhan akan ruang sosial serta interaksi sosial terhadap sesamanya secara horizontal tidak dapat secara radikal diambil dari mereka untuk disusun secara vertikal.

Adalah Cubic House, kawasan hunian horizontal sekaligus vertikal yang berada di pusat kota Rotterdam, Belanda, seakan menjawab permasalahan yang sama dengan solusi cukup ekstrem.

Dapat dikatakan ekstrem karena permukiman ini berada di atas jalan raya, tetapi terangkai satu sama lain sehingga membentuk karakter tersendiri bagi kota. Bentuknya yang unik dengan warna dominan seakan mencoba melawan kekakuan kota, sekaligus memenuhi fungsinya sebagai kompleks hunian.

Hutan kota

Bangunan-bangunan berbentuk kubus ini hakikatnya hadir menjawab berbagai kebutuhan Rotterdam.

Selain sebagai kompleks permukiman, Cubic House juga mengakomodasi kebutuhan jalur bagi pejalan kaki dengan menghubungkan kompleks ini pada beberapa simpul kawasan. Bagi pejalan kaki, kompleks permukiman ini tidak hanya menyediakan jalur semata, melainkan juga berperan sebagai pelindung dari sengatan cahaya matahari dan kucuran air hujan.

Peran ini dimainkan dengan sangat baik sejalan dengan konsep awal Cubic House yang merupakan metamorfosis hutan.

Oleh sang arsitek, Piet Blom, secara konseptual tiap-tiap bangunan kubus dihadirkan sebagai sebuah ”pohon” abstrak. Pilar-pilar bangunan berperan sebagai batang pohon kokoh berbentuk segi enam yang menopang masing-masing kubus sekaligus berfungsi sebagai gudang dan sirkulasi vertikal berupa tangga menuju bangunan. Adapun bangunan utama (rumah), kubus, diibaratkan sebagai bagian teratas pohon yang berfungsi sebagai elemen peneduh yang terdiri dari batang, ranting, dan daun.

Dengan tiap bangunan berperan sebagai satu pohon, maka keseluruhan bangunan kubus pada kompleks permukiman ini hadir membentuk ”hutan” di tengah-tengah kota. Secara visual tentu saja kehadirannya sangat berbeda dengan hutan dalam arti sebenarnya, tetapi kompleks ini mencoba memainkan peran hutan dalam memberi keteduhan, melindungi dari terik matahari dan hujan, serta memberi kehidupan di dalamnya.

Interior rumah

Tiap-tiap kubus dirancang dapat memaksimalkan keterbatasan ruang dalam mengakomodasi kebutuhan fungsional, layaknya rumah umumnya. Untuk itu, tiap bangunan dibagi atas tiga lantai dengan bagian terbawah sebagai ruang tamu maupun ruang keluarga, bagian tengah atau lantai dua diisi ruang tidur, satu kamar mandi dan dapur, dan bagian teratas sebagai ruang tidur tambahan.

Walaupun terbagi atas tiga lantai, tiap kubus merupakan satu kesatuan rumah sehingga secara keseluruhan kompleks ini merupakan hunian horizontal. Jalur pedestrian yang melalui kompleks Cubic House semakin menghadirkan suasana layaknya permukiman horizontal. Interaksi sosial tetap tercipta, seolah keberadaannya yang melintas di atas jalan raya tidak berpengaruh sama sekali.

Dalam menyikapi keterbatasan ruang, akses dengan lingkungan luar dioptimalkan, baik sebagai akses visual dengan menghadirkan banyak bukaan transparan, maupun sebagai akses bagi tersedianya udara segar dan hangatnya cahaya matahari.

Ruang yang terbatas justru membentuk penghuninya dapat hidup efektif dan efisien, baik dalam menata ruang dalam, memilih (atau bahkan mendesain sendiri) perabotan yang sesuai, maupun menyusun skala perioritas dalam menentukan barang yang harus dimiliki.

Dalam konteks pola hidup, masyarakat yang menghuni kompleks permukiman seperti Cubic House tentu harus memiliki kesadaran hidup bermasyarakat yang tinggi dan kesadaran menjaga kebersihan dan keindahan kompleks permukiman. Cubic House, selain mampu menjawab kebutuhan kota, juga mampu berperan sebagai penanda kawasan dan menjadi obyek wisata.

Penulis : Parmonangan Manurung, Dosen Jurusan Arsitektur Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com