Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kembara Tubuh Saepul Bahri di Philo art space

Kompas.com - 08/03/2009, 02:05 WIB

JAKARTA, MINGGU--Pameran Tunggal Saepul Bahri ini boleh dikatakan lanjutan dari pameran tunggalnya Tahun 2008 dengan tema Traveling Imaginary, digaleri yang sama, Philo Art Space. Bidikannya masih berkisar pada tubuh manusia yang berusaha mengatasi batasan ruang kesehari-hariannya. Namun tampakan teknisnya, pada pameran kali ini di Philo art space yang akan digelar pada tanggal 12 sampai 26 Maret 2009, Jl Kemang Timur 90 C Jakarta Selatan 12730, lebih ekstrim dan detil dengan tidak menampikkan begitu saja nuansa estetik.

Epul, demikian panggilan pria lajang asal Lombok ini, sejak awal karirnya melukis dan dilewatinya secara formal di ISI Yogya, tak terlepas oleh ketertegunannya pada sosok manusia, teristimewa pada dimensi tubuh. Katakanlah tubuh manusia adalah obsesi bawah sadarnya dan hal ini bukanlah tanpa alasan. Tubuh sebagai objek merupakan data pengalaman yang sekalipun tak lepas dari keterbatasan ruang dan waktu namun tak begitu mudah tertundukkan sebagai target eksplorasi maupun ekploitasi. Mengapa?

Sejarah seni rupa merupakan lautan tubuh yang menyemburatkan berbagai macam penanda; sensasi, ketakutan, kenikmatan, kekinian, pesona, penderitaan, kehormatan, kemiskinan, dan lain sebagainya.  Hanya tubuh yang mampu menyadarkan manusia sebagai makhluk yang terlempar ke dunia lalu berupaya berdiri membangun cara beradanya sebagai subyek kehidupan.

Dalam pameran tunggal ini, Epul hendak berbicara tentang bagaimana cara berada tubuh dalam proses pencarian dirinya. Tubuh kelihatannya mampu muncul sedemikian rupa untuk berganti posisi, emoh lagi terus-menerus dijadikan target namun tubuh lah sebagai subyek yang menentukan posisinya sendiri. Dengan demikian, wacana tubuh dalam lukisan Epul dapat dibaca sebagai sebuah semangat tak lazim atau kontroversial.

Secara visual semangat tubuh kontroversial Epul bergerak energik seiring memang dengan teknik draperi. Dimensi-dimensi ruang visual menjadi kelihatan serba terbatas sebagai metafor ketika berhadapan dengan ketakberhinggaan multiplikasi bayangan gerak tubuh. Dan hal ini dikontraskan dengan pilihan warna yang serba diperhitungkan. Kekayaan warna tidak lagi verbal tambil secara kwantitatif, tumpang-tindih, namun intesif pada pencapaian kwalitatif. Pemilihan pada dominannya warna gelap-hitam bukannya bertujuan menciptakan batas-batas demarkasi  secara tegas antara tubuh dan ruang kesehariannya namun hendak menunjukkan keinginan tubuh mencapai atau memasuki ruang esoterik (”Smile in Dark”).

Lukisan Epul adalah wacana tubuh yang menggeliat, berkelit, resah, dalam pencarian dan pencapaian sublimasinya tapi ternyata tidak demikian mudah merengkuh ujungnya. Perjalanan hidup anak manusia menjadi semacam upaya mencairkan tubuh menjadi energi yang mampu melapukkan dimensi mekanistiknya yakni tubuh yang terukur dan terpastikan. Sekalipun klise namun tetap saja bisa memberikan pengharapan bagi  tubuh dalam hal melakukan kembaranya adalah kekuatan yang biasanya kita sebut gairah atau cinta.

Tak terelakkan hanya dengan cinta perjalanan tubuh memiliki elan vitalnya (”survive”). Lukisan yang berjudul ”Story in Love” menunjukkan kegairahan tubuh dalam menikmati perjalanan karena memang hanya tubuh lah yang benar-benar kongkrit merasakan sentuhan enerji yang mengalir dari satu ke tubuh yang lain. Tak heran di sini bahwa tubuh mampu menghantar kita pada dimensinya yang lain yaitu soul (jiwa).

Wacana tubuh dan jiwa dalam konteks lukisan-lukisan Epul pada intinya hendak mengatasi problem dualisme yang senantiasa berujung pada kebingungan metafisik yang manakah sesungguhnya substansi, tubuh atau jiwa?  Senyatanyalah pertanyaan ini tidak relevan karena ternyata hasilnya hanyalah menjauhi pengenalan kita pada baik tubuh atau jiwa itu senditi (”Isyarat Hati”). Tubuh sesungguhnya adalah jiwa itu sendiri atau sebaliknya pada saat mana tubuh dipahami bukan sekedar benda dan jiwa bukanlah sekedar penghuni tubuh.

Kembara tubuh dalam lukisan-lukisan Epul bukanlah tubuh sebagai alat atau kendaraan yang digunakan jiwa untuk mencari pemurnian diri sebagaimana umumnya dipahami. Ketika tubuh merasakan sakit, senang, nikmat, menderita, dan lain sebagainya pada saat itu juga sebenarnya tubuh hidup sebagai jiwa. Jadi semakin tubuh diperlakukan secara ekstrim dengan cara apa pun maka semakin pula dia tampil sebagai jiwa (”sunrise”).

Kehendak Epul adalah jelas ”mencabik-cabik” tubuh dengan tujuan menampakkan kejiwaannya yang transparan. Pengalaman perjalanan hidup manusia merupakan jembatan untuk ke sana, maka seperti yang bisa kita simak dari satu ke lukisan lainnya adalah tampilan berbagai momen di mana ekspresi tubuh dinyatakan sebagai jiwa (soul).

Ketika tubuh bergerak menghadapi berbagai kemungkinan kenyataan termasuk bagaimana ia menjadi target penderitaan dan merasakan kesakitan yang luar biasa maka justru di sana lah peluang tubuh menyatu dengan kenikmatan dan hidup pada akhirnya tidak lagi berjarak dengan tubuh.

Epul adalah salah satu kemungkinan dari sekian banyak perupa yang menyumbangkan kemeriahan sejarah senirupa sebagai lautan tubuh. Tubuh dalam kembara untuk menemukan identitasnya  (”Searching Identity”)tak lain tak bukan adalah tubuh sebagai jiwa itu sendiri.

Tommy F Awuy
kurator

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com