Oleh: Yayat R Cipasang*
SUATU hari penulis mendapat email dari Supardi Adiwidjaya (66), eksil Sunda di Belanda. Pos eletronik itu tak terlalu panjang tetapi sangat berkesan terutama tentang penegasan ideologi yang dianutnya.
Selama ini penulis mendapat kesan, eksil yang berdiaspora di Belanda, Prancis, Eropa Timur, Kuba atau negara lainnya kerap berpandangan sinis dan provokatif, apalagi bila menyangkut Orde Baru.
"Saya senang sekali membaca dua atikel kritis Anda yang dimuat Pikiran Rakyat Bandung. Saya juga senang membaca tulisan-tulisan di blog Anda," kata Supardi yang kembali mendapat kewarganegaraan Indonesia Selasa, 13 November 2007 pukul 11.00 waktu Belanda.
Tak lama berselang, penulis kembali mendapat pos elektronik yang mengabarkan Supardi bakal berkunjung ke Indonesia. "Saya akan ke Indonesia dua bulan mendatang. Anda mau oleh-oleh apa?" tulisnya.
"Boleh, kalau bekenan saya bawain buku tentang jurnalisme," balas penulis singkat.
Supardi mengaku, secara pribadi adalah "pengikut Bung Karno", tetapi tidak pernah mengkultuskan Sukarno. "Membaca tulisan-tulisan Bung Karno, ambillah apinya, jangan abunya," sarannya. "Artinya kita perlu tahu mengenai tulisan atau pidato Bung Karno dikaitkan dengan situasi dan kondisi saat itu dengan kekinian," tambahnya.
Doktor sejarah dari Universitas Lomonosov ini mengaku mulai mengagumi Bung Karno ketika duduk di SMP Negeri III di Manggarai, Jakarta Selatan dan kemudian di SMA IV/C Jalan Batu, Gambir, Jakarta Pusat.
Setiap tanggal 17 Agustus para pelajar di Jakarta selalu upacara di depan Istana Merdeka. Bung Karno kerap mengucapkan pidato wejangannya di depan anak-anak sekolah. Apa yang dikatakan Bung Karno ketika itu, Supardi tak satu pun dapat mengingatnya.
"Terus terang saya nggak pernah ingat," ujarnya. "Tapi saya punya rasa simpati kepada Bung Karno bahwa dia itu adalah Presiden Indonesia," tambahnya.