Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemetik Teh dalam Lingkar Kemiskinan

Kompas.com - 17/01/2009, 19:07 WIB

Laporan wartawan Kompas.com Kristianto Purnomo

BOGOR, SABTU- Di hari pertama kegiatan Ekspedisi Ciliwung, Sabtu (17/1), Tim Ekspedisi Ciliwung Kompas Ciliwung 2009 belum melakukan kegiatan di sungai. Semua anggota tim masih berkonsentrasi pada liputan kawasan hulu sungai, antara lain ke perkebunan teh, Telaga Saat, Telaga Warna, Mata Air Cikoneng, dan pemantauan dari udara menggunakan para layang.

Menurut rencana, kegiatan di sungai baru akan dilaksanakan hari kedua, Minggu (18/1) dengan menyusuri hulu sungai Ciliwung dari Telaga Warna.

Sepanjang pengamatan di kawasan hulu Ciliwung hari ini, tim disuguhi pemandangan indah hamparan perkebunan teh. Dalam perjalanan ke Telaga Saat dan Mata Air Cikoneng, tim tak sulit menemui buruh pemetik teh. Dalam balutan kabut tebal, yang tak jarang di bawah rintik hujan, mereka terlihat bersemangat memetik dan mengumpulkan pucuk-pucuk teh.

Di tempat ini, sebagian besar penduduknya memang berprofesi sebagai pemetik teh di perkebunan. Bahkan mereka umumnya telah mengakrabi profesi ini sejak kecil.

Namun, keindahan pemandangan hamparan kebun teh ternyata tak seindah kehidupan para buruhnya. Rumah sederhana dan tingkat putus sekolah yang tinggi menjadi pertanda bahwa mereka hidup dalam kemiskinan.

Memet (60), seorang pemetik di Kampung Cikoneng, Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, menyatakan, upah sebagai pemetik teh hanya cukup untuk makan sehari-hari. 

"Lulus SD anak-anak saya langsung jadi pemetik teh. Tidak punya biaya untuk sekolah," katanya. Itulah gambaran umum kehidupan para pemetik teh. Di kampung itu, katanya, hanya ada satu keluarga yang bisa menyekolahkan anaknya sampai SMA.

Engkui (44), keponekan Memet yang juga berprofesi sebagai pemetik teh, mengungkapkan, dalam sehari ia rata-rata mengumpulkan 50 kg pucuk teh. "Itu sudah bagus sekali. Setiap kilonya dihargai oleh pihak perkebunan Rp 325," katanya.

Dengan penghasilan tak lebih dari Rp 17.000 per hari, Engkui mengaku tak mungkin menyekolahkan anaknya. Untuk makan sehari-hari saja ia mengaku sudah sangat pas-pasan. Tak heran kalau ia dan hampir semua keluarga buruh pemetik teh tak sanggup menyekolahkan anaknya. Maka, di kampung ini hampir semua anak putus sekolah. Rata-rata hanya lulus SD.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com