JEO - Properti

Debat Infrastruktur,
Kunci Kemenangan Capres 2019?

Minggu, 17 Februari 2019 | 13:43 WIB


INFRASTRUKTUR adalah isu seksi nan strategis yang menjadi andalan kedua kubu calon presiden (capres)-calon wakil presiden (cawapres) Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.

Betapa tidak strategis, infrastruktur dianggap sebagai backbone atau tulang punggung kemajuan bangsa untuk dapat meningkatkan daya saing nasional dalam percaturan global.

Infrastruktur juga memengaruhi tingkat ketertarikan investasi dalam negeri dan mancanegara.

Dalam laporan terbarunya, 2018, World Economic Forum (WEF) mengungkapkan, meskipun masih tertinggal ketimbang Singapura, Malaysia, atau bahkan Thailand, Indonesia telah menunjukkan kemajuan signifikan.

Indonesia berada pada peringkat 36 dari 140 negara dalam The Global Competitiveness Index 2017-2018

Indonesia berada pada peringkat 36 dari 140 negara dalam The Global Competitiveness Index 2017-2018, dengan poin 4,7. WEF menyatakan, Indonesia semakin menanjak di tangga daya saing, bergerak maju lima tempat dari posisinya pada 2017.

Mirip dengan Korea Selatan, Indonesia dinilai telah meningkatkan kinerjanya di semua pilar yang diukur untuk penyusunan laporan tersebut. 

Kenaikan peringkat Indonesia didorong terutama oleh dimensi pasar yang besar (ke-9) dan lingkungan ekonomi makro yang relatif kuat (ke-26). Menempati peringkat ke-31 dan ke-32 dalam inovasi dan kecanggihan bisnis, Indonesia adalah salah satu inovator teratas di antara negara-negara berkembang.

Sebaliknya, negara ini tertinggal jauh di belakang dalam hal kesiapan teknologi (ke-80) meskipun telah membuat kemajuan yang mantap di bidang itu selama dekade terakhir.

Baca juga: JEO-Jokowi dan Prabowo, Siapa Lebih Punya Jawaban soal Pangan?

Kemajuan yang signifikan juga diperlukan dalam pilar efisiensi pasar tenaga kerja (ke-96), yang terseret oleh biaya redundansi yang berlebihan, fleksibilitas terbatas dalam penentuan upah, dan keterwakilan perempuan yang terbatas dalam angkatan kerja.

Khusus pada pilar infrastruktur, Indonesia berada pada peringkat 52 dari 137 negara. Dengan rincian peringkat infrastruktur transportasi ke-30, serta infrastruktur kelistrikan dan telekomunikasi di posisi 77.

Ketertinggalan Indonesia pada pilar infrastruktur transportasi disebut tak lepas dari masih rendahnya kualitas jalan (68), kualitas jalur kereta (30), kualitas pelabuhan (72), kualitas bandara (51), dan kursi penerbangan tersedia dalam kilometer (14).

Peringkat Indonesia per Indikator Global Competitiveness Index 2017-2018

Oleh karena itu, untuk mengejar ketertinggalan, Indonesia melakukan percepatan pembangunan infrastruktur, termasuk yang terkait dengan konektivitas. Berbagai upaya dilakukan, termasuk menaikkan anggaran infrastruktur.

Pada 2019, anggaran infrastruktur yang dialokasikan pemerintah dalam APBN mencapai Rp 415 triliun, atau lebih tinggi dari prospek 2018 sebesar Rp 410 triliun.

"Suka atau tidak, belanja negara kita tahun depan itu mencapai Rp 415 triliun. Dan dalam beberapa tahun terakhir selalu di atas Rp 400 triliun," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani di kantornya, Senin (17/12/2018).

Baca juga: JEO-Pilpres 2019 dan Bayang-bayang Ancaman Krisis Energi

Anggaran yang cukup besar tersebut dialokasikan, tak hanya membangun jalan tol, juga sanitasi, listrik, hingga aksesibilitas guna menunjang konektivitas antar daerah.

Bukan tanpa alasan, pemerintah menaikkan anggaran infrastruktur. Menurut Sri Mulyani, peningkatan dana ini nantinya akan sangat memengaruhi harga dan dinamika sektor properti dan konstruksi.

Sri Mulyani juga menuturkan, konektivitas menjadi kunci penting dalam meningkatkan nilai properti atau tanah yang belum dibangun di daerah. Pasalnya, dengan adanya jaringan jalan, maka akan memudahkan akses menuju lokasi lahan yang belum dikembangkan. Dengan demikian, nilai properti wilayah tersebut pun akan turut terdongkrak.

"Connectivity atau kemampuan kita ciptakan aksesibilitas di berbagai daerah, menciptakan value dari properti atau tanah yang belum dibangun cukup tinggi," terang Sri Mulyani.

Dengan semua paparan tersebut, baik pasangan calon petahana alias pasangan calon nomor urut 01, Joko Widodo-Ma’ruf Amin, maupun pasangan calon penantang atau pasangan calon nomor urut 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno, sudah selayaknya beradu visi dan langkah konkret solusif untuk sektor ini.

Apakah debat kedua Pilpres 2019 yang menghadapkan dua calon presiden, Jokowi dan Prabowo, menjadi salah satu momentumnya? 

PROYEK STRATEGIS NASIONAL

MEMASUKI tahun keempat pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, sejumlah percepatan pembangunan infrastruktur untuk mengejar ketertinggalan telah dilakukan.

Terbaru, Presiden menerbitkan Peraturan Presiden (PP) Nomor 56 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN).

Perpres yang ditandatangani pada 20 Juli 2018 itu menggantikan Perpres Nomor 58 Tahun 2017 yang selama ini menjadi pijakan hukum bagi upaya percepatan pelaksanaan PSN di seluruh Indonesia.

Setidaknya, ada 227 proyek yang masuk ke dalam daftar PSN dengan estimasi kebutuhan anggaran mencapai Rp 4.150 triliun.

STRATEGI
PERCEPATAN
DAN PEMBIAYAAN

ADA lima terobosan yang menurut Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono telah ditempuh pemerintah guna menghadirkan infrastruktur yang tepat waktu, tepat mutu, tepat biaya, dan tepat manfaat.

Kelima terobosan tersebut menyangkut beberapa hal, mulai dari kerangka hukum dan perundangan yang kondusif, inovasi pembiayaan dan pendanaan, hingga pembangunan infrastruktur. Juga, kepemimpinan yang kuat, koordinasi antar-lembaga yang solid, serta penerapan hasil penelitian dan teknologi terbaru.

Tujuan dari penyediaan infrastruktur, ujar Basuki, haruslah meningkatkan daya saing bangsa.

"Infrastruktur yang kita bangun saat ini berdasarkan kebutuhan untuk mengejar ketertinggalan," kata Basuki dalam keterangan tertulisnya, Selasa (25/7/2017).

Basuki menambahkan, tanpa keterlibatan aktif Kementerian ATR/BPN dan kejaksaan dalam pengadaan tanah, berbagai proyek pun tidak mungkin bisa terwujud dengan cepat.

TENTANG DEBAT

DEBAT kedua Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 digelar pada Minggu (17/2/2019). Ada empat topik diangkat sebagai tema pada debat mendatang yaitu energi, pangan, infrastruktur, serta sumber daya alam dan lingkungan hidup.

Kali ini, hanya dua calon presiden (capres) yang akan berhadapan, yaitu capres dari pasangan calon nomor urut 01, Joko Widodo (Jokowi), dan capres dari pasangan calon nomor urut 02, Prabowo Subianto.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah memilih delapan panelis dari kalangan akademisi dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk debat ini. 

Menurut KPU, kalangan akademisi dan LSM tersebut dipilih untuk memberikan pertanyaan yang komprehensif, baik praktikal atau teoritikal. Kedelapan panelis itu adalah: 

  1. Rektor Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Joni Hermana
  2. Rektor Institut Pertanian Bogor, Arif Satria
  3. Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Nur Hidayati
  4. Ahli Pertambangan Institut Teknologi Bandung, Irwandy Arif
  5. Pakar Energi Universitas Gadjah Mada, Ahmad Agus Setiawan
  6. Pakar Lingkungan Hidup Universitas Diponegoro, Sudharto P Hadi
  7. Konsorsium Pembaruan Agraria, Dewi Kartika
  8. Pakar Hukum Lingkungan Universitas Airlangga, Suparto Wijoyo.

Suparto mengatakan, para panelis debat tetap akan selaras dengan tema yang diberikan.

"Secara substantif tentu dalam koridor tema debat, tidak akan keluar dari itu kan. Selanjutnya, sebagai panelis tetap menjaga peran dengan obyektif," ujar Suparto kepada Kompas.com, Rabu (5/2/2019).

Meski begitu, Suparto enggan merinci tema apa yang akan dikedepankan.

"Teknis pertanyaan niscaya tidak terbuka kepada publik," ujar dia.

Perubahan format debat

Dalam format debat kedua kali ini, terdapat perubahan dibanding dengan debat pertama. Perbedaan utama adalah tak adanya kisi-kisi pertanyaan untuk para kandidat.

Selain itu, KPU juga akan mengalokasikan segmen khusus agar para peserta dapat saling melemparkan pertanyaan sekaligus menanggapi tanpa dibatasi durasi waktu. Format ini akan diterapkan pada satu segmen saja.

Tak hanya saat debat, perubahan juga dilakukan di luar hal teknis tersebut. Nantinya tidak akan ada lagi pendukung pasangan calon di belakang peserta debat. Seluruh pendukung akan ditempatkan menghadap ke panggung.

Lalu, hal baru lagi adalah akan ada kamera yang terus mengikuti perjalanan peserta menuju lokasi debat yang disiarkan secara langsung juga. 

VISI DAN GAGASAN
KANDIDAT

Visi-Misi Terkait Infrastruktur Kandidat Pilpres 2019 - (KOMPAS.com/AKBAR BHAYU TAMTOMO)

Jokowi-Ma'ruf Amin

Pasangan nomor urut 01 Joko Widodo-Ma'ruf Amin meyakini bahwa pembangunan infrastruktur yang telah dilakukan empat tahun terakhir telah memberikan dampak kemajuan bagi masyarakat. 

Hal ini tidak terlepas dari perubahan orientasi pembangunan dari Jawa sentris menjadi Indonesia sentris. Adanya pembangunan di pulau-pulau terluar guna memperkuat konektivitas antar daerah, melalui jalur darat, laut dan udara diyakini menjadi kuncinya.

Salah satu dari sembilan misi pasangan ini adalah mewujudkan "Struktur ekonomi yang produktif, mandiri dan berdaya saing".

Dalam penjabarannya, percepatan pembangunan infrastruktur dan reformasi struktural telah membuka jalan bagi terbangunnya fondasi struktur perekonomian yang lebih kuat dan berdaya saing.

Pasangan capres-cawapres Jokowi-Maruf Amin menemui para relawan dan pendukung di Tugu Proklamasi, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (21/9/2018). Setelah dari Tugu Proklamasi, Jokowi-Maruf Amin akan langsung menuju Kantor KPU untuk mengambil nomor urut sebagai peserta Pemilu Presiden 2019.
KOMPAS.com/GARRY ANDREW LOTULUNG
Pasangan capres-cawapres Jokowi-Maruf Amin menemui para relawan dan pendukung di Tugu Proklamasi, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (21/9/2018). Setelah dari Tugu Proklamasi, Jokowi-Maruf Amin akan langsung menuju Kantor KPU untuk mengambil nomor urut sebagai peserta Pemilu Presiden 2019.

Jokowi-Ma'ruf pun berharap pembangunan infrastruktur akan memperkuat struktur ekonomi Indonesia, menjadi lebih kokoh, produktif, mandiri, serta mampu membuka banyak lapangan kerja, guna menekan angka pengangguran dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Untuk tahap berikutnya Jokowi-Ma'ruf menawarkan enam program aksi, salah satunya adalah upaya meningkatkan nilai tambah dari pemanfaatan infrastruktur, sebagaimana tercantum dalam infografis di atas.

"Jokowi berencana mengembangkan proyek infrastruktur yang bertujuan mengembangkan potensi sumber daya manusia yang ada."

~Johnny G Plate~

Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Ma'ruf Amin, Johnny G Plate menuturkan, secara umum program pembangunan infrastruktur yang dicanangkan sudah dijalankan pemerintahan saat ini.

Namun, bila terpilih kembali pada pilpres mendatang, Jokowi berencana mengembangkan proyek infrastruktur yang bertujuan mengembangkan potensi sumber daya manusia yang ada.

"Ya yang namanya infrastruktur kan programnya Pak Jokowi, kan umum ya. Pak Jokowi kan sudah ngomong kalau 2019-2024 itu kan untuk sumber daya manusia. Sudah lompat," kata Johnny kepada Kompas.com, Selasa (5/2/2019).

Meski demikian, Sekretaris Jenderal DPP Partai Nasdem itu enggan merinci langkah apa saja yang akan dilakukan Jokowi bila kelak terpilih.

Pasalnya, sudah ada imbauan untuk tidak membocorkan rencana program kerja tersebut sebelum debat kedua dilaksanakan.

"Nanti apa yang akan di-highlight ya, tunggu. Kan itu yang diminta publik semuanya. Biar surprise, kita tunggu waktunya," ucap dia.

Sebaliknya, anggota Komisi XI DPR itu meminta agar masyarakat dapat membandingkan langsung antara visi misi Jokowi-Ma'ruf dengan Prabowo-Sandi yang sudah diunggah pada laman resmi KPU.

"Yang secara umum di KPU saja. Kalau ada (perintah penyampaian) kisi-kisi dari KPU ya kita omong. Kalau sekarang jangan, diem, tutup, nanti. Detailnya nanti," kilah dia. 

Prabowo-Sandiaga

Dalam dokumen visi misi yang bertajuk "Empat Pilar Menyejahterakan Indonesia Adil Makmur bersama Prabowo Sandi", pasangan nomor urut 02 memuat rencana pembangunan infrastruktur pada pilar pertama, yaitu ekonomi.

Pilar tersebut berisi delapan rencana kerja yang termaktub ke dalam 41 program aksi. Dari jumlah tersebut, 14 di antaranya merupakan program untuk infrastruktur, seperti dimuat dalam infografis di atas. 

Ada sejumlah catatan. Poin pembangunan yang memprioritaskan rakyat, dijelaskan akan dilakukan melalui sejumlah langkah.

Di antara langkah itu adalah anggaran pro-rakyat, kebijakan ekonomi pro-penciptaan lapangan kerja, kebijakan fiskal yang pro daya beli masyarakat, kebijakan subsidi yang mendorong kemampuan produksi, kebijakan yang menjadikan harga terjangkau dan stabil, serta pembangunan infrastruktur pertanian dan pedesaan yang mendukung berkembangnya sektor produktif.

Calon presiden dan wakil presiden Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno berfoto bersama seusai mendaftarkan dirinya di Gedung KPU RI, Jakarta, Jumat (10/8/2018). Pasangan Prabowo-Sandi yang secara resmi mendaftar sebagai calon presiden dan wakil presiden tahun 2019-2024.
MAULANA MAHARDHIKA
Calon presiden dan wakil presiden Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno berfoto bersama seusai mendaftarkan dirinya di Gedung KPU RI, Jakarta, Jumat (10/8/2018). Pasangan Prabowo-Sandi yang secara resmi mendaftar sebagai calon presiden dan wakil presiden tahun 2019-2024.

Anggota Dewan Pakar Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, Drajad Hari Wibowo mengatakan, Prabowo lebih banyak diskusi dengan sejumlah pakar di bidangnya serta mematangkan opsi kebijakan yang akan ditempuh bila terpilih nanti, sebagai persiapan menghadapi debat kedua Pilpres 2019.

"Yang jelas Mas Bowo akan mengelaborasi apa yang sudah beliau sampaikan dalam Orasi Kebangsaan beberapa waktu lalu," kata Drajad kepada Kompas.com, Selasa (5/2/2019).

Dari orasi tersebut, poin yang dimungkinkan muncul dalam debat adalah soal pentingnya swasembada pangan, energi, dan air. Selain itu juga tentang pentingnya pembangunan infrastruktur yang direncanakan dan diperhitungkan secara matang.

"Pembangunan infrastruktur sekarang ini banyak kelemahan dan efek negatif yang bisa meledak menjadi masalah di masa depan."

~Dradjad Wibowo~

"Pembangunan infrastruktur yang akan dilakukan akan dijalankan secara selektif dan harus memperhitungkan mulai dari benefit cost hingga keselamatan kerja. Contoh kekacauan infrastruktur ini sudah banyak. Tidak perlu saya ulang lagi," kata Dradjad.

Dalam kesempatan terpisah, Dradjad menegaskan, siapa pun presiden yang nanti terpilih pada Pilpres 2019 memang harus cepat membangun infrastruktur. Karena, kata dia, harus diakui bahwa infrastructure gap kita besar sekali.

Masalahnya, lanjut Dradjad, pembangunan infrastruktur sekarang ini banyak kelemahan dan efek negatif yang bisa meledak menjadi masalah di masa depan. Prioritas pada jalan Tol Trans-Jawa adalah contoh pertama yang dia sebutkan. 

"Jika tujuannya menurunkan biaya logistik, kenapa bukan infrastruktur transportasi massal seperti kereta api yang diprioritaskan? Apalagi KA terbukti mempunya efek multiplier yang besar," ungkap Dradjad, Jumat (15/2/2019). 

Menurut Dradjad, kasus yang sama juga merupakan contoh dari financial cost benefit ratio atau minimum willingness to pay dari rakyat yang sering diabaikan.

"Faktanya, sopir (angkutan umum/usaha) enggan memakai jalan tol. Saya mengalami sendiri di daerah Japanan, Jawa Timur. Padahal, mereka target konsumen, dan sekaligus (pelaku ekonomi dalam konteks upaya) untuk menurunkan biaya logistik," lanjut Dradjad.

Jangan sampai, jalan tol ini pada akhirnya hanya laku setiap kali "musim" mudik hari raya atau libur panjang nasional.

"Dari mana BUMN bisa mengembalikan 'investasi'-nya? Saya pakai tanda kutip karena saya mensinyalir BUMN 'terpaksa' membuang uang ke sana," ujar dia.

Pembangunan infrastruktur selama ini justru menyumbang penyebab pertumbuhan ekonomi stagnan, berkebalikan dari pakem yang seharusnya terjadi dalam konteks pembangunan infrastruktur. 

"Dengan realisasi belanja infrastruktur Rp 390 triliun lebih pada 2017 dan alokasi Rp 410 triliun pada 2018, pertumbuhan seharusnya bisa naik ke minimal 5,5 persen. Ternyata, pertumbuhan ekonomi malah stagnan," sebut Dradjad.

Karena itu, Prabowo dan tim teknis di belakangnya berpendapat, ada sejumlah koreksi yang harus dilakukan terkait kebijakan dan proyek infrastruktur ini. 

"Itu semua harus dikoreksi. Prioritas perlu diarahkan ke infrastruktur yang menopang swasembada pangan, energi, dan air. Kereta Api perlu mendapat prioritas lebih tinggi (daripada jalan raya dan jalan tol). Hitungan biaya dan manfaat harus lebih matang. Jangan sampai nanti malah menyebabkan krisis keuangan BUMN," tutur Dradjad. 

Koordinator Juru Bicara BPN Prabowo-Sandi, Dahnil Anzar Simanjuntak menambahkan proyek Light Rail Transit (LRT) Palembang sebagai contoh lain pembangunan infrastruktur yang salah prioritas dan tak efisien. 

Menurut Dahnil, proyek itu terlalu mahal dari sisi biaya pembangunan dan operasional pasca-operasi. Pendapatan dari keberadaan fasilitas itu tak sebanding dengan biaya operasionalnya. 

"Sekarang, pengelola akui tidak ada penumpang yang gunakan kereta itu, sedangkan operasionalnya bisa sampai Rp 10 miliar per bulan, sementara pendapatannya hanya Rp 1 miliar per bulan," ungkap Dahnil.

KUNCI KEMENANGAN?

Sejumlah pekerja menyelesaikan pemasangan rel kereta ringan atau light rail transit (LRT) rute Cibubur-Cawang di Jakarta, Jumat (28/9/2018). Infrastruktur menjadi salah satu yang disuarakan Indonesia di forum IMF-World Bank Annual Meeting 2018.
ANTARA/APRILLIO AKBAR
Sejumlah pekerja menyelesaikan pemasangan rel kereta ringan atau light rail transit (LRT) rute Cibubur-Cawang di Jakarta, Jumat (28/9/2018). Infrastruktur menjadi salah satu yang disuarakan Indonesia di forum IMF-World Bank Annual Meeting 2018.

KETUA Umum Ikatan Ahli Perencanaan, Bernardus Djonoputro, mengatakan, infrastruktur adalah salah satu topik politik pembangunan yang kerap mewarnai ajang kontestasi politik di dunia.

Di luar infrastruktur, kata dia, tak banyak isu politik pembangunan yang laku di arena politik praktis seperti pemilu ini.

Di Inggris, sebut Bernie—nama panggilan Bernardus—, Partai Buruh dan Torries sampai membuat manifesto partai bernilai miliaran poundsterling terkait isu infrastruktur, ketika Theresa May kembali memenangi pemilu negara itu.

Presiden AS Trump pun tercatat menjadi pemenang Pilpres AS yang memakai janji belanja infrastruktur sebagai kunci kemenangan tipisnya. 

Karenanya, kata Bernie, bukan hal mengejutkan isu ini menjadi topik debat Pilpres 2019 di Indonesia, negara yang menurut laporan Standard Chartered Plc akan menjadi ekonomi keempat terbesar dunia pada 2030 berdasarkan indikator purchasing power parity

Meski begitu, Bernie menyebut isu infrastruktur ibarat buah simalakama. Terlebih lagi, kata dia, alokasi anggaran dan kemampuan trickle down effect dari sektor ini ke dunia usaha begitu signifikan. Bahkan, ujar dia, niscaya saja bila isu ini akan menjadi salah satu topik penentu terkait Pilpres 2019.

Baca juga: JEO-Ketimpangan, Ketidakadilan, dan Tahun Politik

Infrastruktur, papar Bernie, adalah isu kompleks yang tidak mudah dibahas secara awam. Bagi masyarakat umum, infrastruktur hanyalah sesederhana jalan, waduk, pelabuhan, rumah sakit, jembatan, dan sejenisnya, yang baik, aman, dan berfungsi.

"(Seharusnya) yang menjadi fokus sentral adalah hubungan antara pertumbuhan produktivitas dan ketersediaan infrastruktur, sehingga memicu perkembangan kebijakan publik dalam penyediaan infrastruktur." 

Padahal, kata Bernie, diskursus infrastruktur adalah tentang fungsi proses pertumbuhan ekonomi dan potensi alamiah dari konvergensi ekonomi regional.

"(Seharusnya) yang menjadi fokus sentral adalah hubungan antara pertumbuhan produktivitas dan ketersediaan infrastruktur, sehingga memicu perkembangan kebijakan publik dalam penyediaan infrastruktur," ungkap Bernie, kepada Kompas.com, Sabtu (16/2/2019).

Kenneth Button dari Institute of Public Policy George Mason University,  lanjut Bernie, menekankan bahwa setiap kebijakan publik infrastruktur akan bertabrakan dengan kenyataan bahwa dunia sedang menggalakkan peran investasi swasta, penurunan tingkat pajak, dan liberalisasi pasar.

Untuk kasus di Indonesia, menurut Bernie secara teoritis perekonomian bisa tumbuh di atas 6 persen hanya bila negara membangun infrastruktur konektivitas dan infrastruktur dasarnya.

Dalam periode 2016 sampai 2030, Asia ditaksir butuh dana 22 triliun dollar AS, ASEAN butuh 3 triliun dollar AS, dan Indonesia sekitar Rp 5.000 triliun untuk membangun kebutuhan infrastruktur. 

Simalakama capres

Masalahnya, perekonomian Indonesia saat ini dalam konstelasi fiskalnya memperlihatkan ketidakseimbangan antara kemampuan investasi pemerintah pusat dan daerah.

Padahal, aset aset infrastruktur hampir semua berada atau menempel di daerah. Kemampuan fiskal daerah serta merta menjadi kendala besar.

Semua provinsi besar dan kota-kota Indonesia sangat terbatas dalam kemampuan belanja modal infrastruktur, ditambah lagi tumpang tindih aturan fiskal pusat dan daerah, pengelolaan keuangan daerah, dan batas maksimal kumulatif defisit APBD yang menyulitkan pendanaan proyek untuk aset daerah. 

Bagi para capres, itu semua menjadi simalakama tersendiri. Setidaknya ada tiga simalakama.

Pertama, simalakama dalam menentukan cara agar pemerintah dapat memenuhi kebutuhan pembiayaan infrastruktur jangka panjang, pada saat sistem anggaran kita sangat kaku dan tidak memihak pada anggaran tahun jamak atau multiyears.

Baca juga: JEO-Pilpres 2019, Minus Gereget Pemberantasan Korupsi?

Pemerintahan mendatang, menurut Bernie perlu mendorong legislasi yang mewujudkan penguatan kapasitas daerah untuk bersama pemerintah pusat membangun infrastruktur dasar.

Dari 500 lebih kota dan kabupaten, dengan memperhitungkan batas maksimal kumulatif defisit APBN, kemampuan kota-kota Indonesia dalam memenuhi kebutuhan infrastruktur sangat terbatas.

"Kecuali Jakarta, semua kota-kota itu hampir pasti memerlukan keterlibatan sumber-sumber keuangan di pemerintah pusat baik melalui kementerian teknis maupun sumber yang inovatif," papar Bernie.

Kedua, simalakama dalam menentukan cara untuk meningkatkan unsur dalam negeri di setiap pengerjaan proyek-proyek infrastruktur.

Ini menyangkut peningkatan sumber daya lokal dan kebutuhan mengundang potensi keuangan global dan teknologi mutakhir dalam pembiayaan pembangunan infrastruktur ke depan. Bagaimana menjaga agar keberlangsungan jangka panjang dapat tercapai?

"Pemerintah baik pusat maupun daerah sudah waktunya menangkap peluang inovasi pembiayaan yang diinisiasi swasta melalui proposal un-solicited atau prakarsa badan usaha," kata Bernie.

Simalakama ketiga, adalah soal pilihan capres, apakah akan membangun infrastruktur yang menyeluruh ke seantero Nusantara atau berdasarkan prioritas. 

Pasalnya, sebut dia, masih banyak pihak yang masih enggan atau curiga kepada pola kerja sama ini. Dalam debat dan perumusan kebijakan ke depan, visi para capres mengenai peluang kerja sama dengan investasi swasta sepatutnya menjadi pertanyaan. 

Simalakama ketiga, lanjut Bernie, adalah soal pilihan capres apakah akan membangun infrastruktur yang menyeluruh ke seantero Nusantara atau berdasarkan prioritas. 

"Apa sektor prioritas yang segera harus dibangun, dan seberapa besar manfaat agregat nya bagi masyarakat Indonesia? Kota dan kawasan urban Indonesia mengalami kemacetan luar biasa dan krisis sumber daya yang harus segera dibenahi apakah harus jadi prioritas? Atau melulu azas pemerataan dan peningkatan ekonomi di pinggiran?" papar Bernie.

Perlu juga, kata Bernie, mencuat pertanyaan terkait indikasi Indonesia yang sedang  bergerak menjadi kekuatan ekonomi baru terancam mandek karena infrastruktur yang tidak mendukung.

"Perlukah negara bersikap?" tanya Bernie.

DUA KANDIDAT
DI MATA PENGAMAT

Ilustrasi infrastruktur.
KOMPAS.com/DANI PRABOWO
Ilustrasi infrastruktur.

PENGAMAT infrastruktur Wicaksono Adi dari Universitas Indonesia mengatakan, pembangunan infrastruktur yang gencar dilakukan oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla selama ini tidak ada masalah jika dilihat dari sisi perencanaan teknis.

“Dari sisi perencanaan teknis enggak ada masalah. Maksudnya apa yang mesti kita lakukan, kebutuhan infrastruktur apa saja yang harus dibangun, dan lain-lain, semua sudah relatif bagus. Sebenarnya ada sebagian yang sudah dirumuskan dalam MP3I yang carry over dari pemerintah sebelumnya,” ucap Wicaksono kepada Kompas.com, Senin (4/2/2019).

Namun, lanjutnya, ada sejumlah kendala dari sisi pelaksanaan. Kendala ini sudah diidentifikasi sejak 2014 dan ada upaya-upaya untuk mengevaluasi serta memperbaikinya. Jika melihat kembali pada 2014-2015, contoh kendala paling krusial yang dihadapi adalah masalah ketersediaan sumber daya manusia (SDM).

Meski hal sudah dilakukan, lanjut Wicaksono, jumlah SDM-nya belum mencukupi kebutuhan. Itu pun harus diakui bahwa pembangunan infrastruktur yang dilakukan sekarang ini, baik dari kualitas maupun kuantitas, terjadi lonjakan besar-besaran.

Baca juga: JEO-Pilpres 2019, Antiklimaks Perlindungan HAM

Fakta kekurangan SDM yang memenuhi kebutuhan merupakan kemungkinan di balik sejumlah kecelakaan kerja terkait proyek infrastruktur. Sejumlah upaya lagi-lagi harus diakui sudah dilakukan pemerintah untuk menambal gap ketersediaan dan kebutuhan SDM di sektor infrastruktur ini. 

Masalahnya, tidak semua kontraktor bisa melakukan pembebasan lahan karena memang bukan bidangnya.

Berikutnya, Wicaksono menyoroti terobosan pemerintah terkait pengadaan lahan. Jika dahulu masalah pembebasan lahan bukan tanggung jawab kontraktor, sekarang ini hal tersebut sudah menjadi bagian dari paket pekerjaannya.

Masalahnya, tidak semua kontraktor bisa melakukan pembebasan lahan karena memang bukan bidangnya.

“Lahan ini krusial. Saat ini kontraktor mengajukan tender, di samping proyek konstruksinya biasanya ada tambahan pembebasan lahan. Ini pekerjaan khusus, skill-nya beda,” ujar dia.

Catatan lain adalah soal keselamatan kerja. Menurut Wicaksono, pemerintah sudah membuat terobosan melalui Kementerian PUPR dengan membentuk satu unit kerja khusus.

Bahkan, secara teknis, hal ini diterjemahkan di perusahaan konstruksi tertentu dengan membentuk satu divisi baru yang bertanggung jawab mengenai keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Meski, di sejumlah perusahaan hal tersebut sudah menjadi bagian dari budaya kerja tanpa perlu pembentukan tim baru.

Terkait pembiayaan, perbankan saat ini mengalokasikan dana yang cukup signifikan dibandingkan pada masa lalu. Dulu butuh waktu lama untuk mendapatkan kucuran kredit infrastruktur. 

Kejar tayang

Pembangunan infrastruktur yang banyak mendapat sorotan saat ini adalah soal percepatan, jumlah proyek yang banyak dengan skala besar, dan kualitas. 

Namun, percepatan proyek infrastruktur itu rentan menjadi bumerang. Karena, terjadi sejumlah kasus penurunan kualitas dan kecelakaan kerja. 

Keretakan di ruas Tol Pemalang-Batang, yaitu  di Km 321 jalur A atau jalur menuju Kabupaten Batang, Wicaksono sebut sebagai salah satu contoh. Juga, kejadian talud runtuh di pinggir Tol Salatiga-Kartasura. Kedua peristiwa itu sama-sama terjadi pada Desember 2018.

“Kekurangannya kalau dari sisi teknis yaitu quality control. Kalau kecepatan ditingkatkan biasanya kualitas agak menurun. Ini karena keterbatasan dari jumlah SDM. Lain cerita kalau jumlah SDM sudah terpenuhi dan peralatan memadai, walaupun cepat tapi kualitas tidak akan turun,” jelas Wicaksono.

Menurut dia, contoh kerusakan di Tol Pemalang-Batang dan Salatiga-Kartasura itu lebih karena kurangnya tenaga ahli di bidang metode pembangunan.

Foto udara kendaraan pemudik melintas di ruas Tol Pemalang-Batang, Jawa Tengah, Senin (11/6/2018). Jalan tol tersebut merupakan tol fungsional yang dibuka selama 24 jam hingga H+7 Lebaran.
KOMPAS.com/GARRY ANDREW LOTULUNG
Foto udara kendaraan pemudik melintas di ruas Tol Pemalang-Batang, Jawa Tengah, Senin (11/6/2018). Jalan tol tersebut merupakan tol fungsional yang dibuka selama 24 jam hingga H+7 Lebaran.

Wicaksono mengatakan, perhatian pemerintah terhadap pembangunan infrastruktur masih harus dilanjutkan. Sebab, kehadiran infrastruktur masih diperlukan di berbagai wilayah Indonesia, terutama di luar Pulau Jawa.

Baca juga: JEO-Terorisme Menurut Jokowi-Ma'ruf dan Prabowo-Sandiaga

Harus diakui bahwa pembangunan jalan dan jembatan yang dilakukan melalui Kementerian PUPR bisa membuka akses transportasi, memberi pilihan untuk jalur konektivitas, dan mempersingkat waktu tempuh.

Terkait visi penantang dalam Pilpres 2019, Wicaksono melihat bahwa pasangan Prabowo-Sandiaga ingin melakukan pembangunan infrastruktur tetapi skalanya berkurang.

"Itu artinya, harus ada sektor lain yang lebih diunggulkan dan digenjot pembangunannya," tegas dia. 

Wicaksono mengatakan, Prabowo harus menjabarkan dan memperjelas sektor apa yang akan diprioritaskan oleh pasangan nomor urut 02 tersebut terkait visi mereka soal infrastruktur. 

“Potensi return yang lebih disoroti. Misalnya industri logistik dan pariwisata, mana yang diutamakan dan bagaimana pelaksanaannnya nanti?” ujar Wicaksono.