Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Zulfi S Koto: Urusan Perumahan Harus Satu Pintu, Satu Kebijakan

Kompas.com - 30/04/2011, 10:10 WIB

KOMPAS.com - Zulfi Syarif Koto, mantan Deputi Kemenpera Bidang Perumahan Formal, kini Ketua Dewan Pengawas Perum Perumnas, dan juga Ketua LPP3I (Lembaga Pengkajian Pengembangan Perumahan dan Perkotaan Indonesia) atau Housing Urban Development HUD Institute.

Koto menekuni masalah perumahan tahun 1984-1993, sejak persoalan perumahan rakyat ditangani Menteri Cosmas Batubara, Siswono Yudohusono, Akbar Tanjung, Theo Sambuaga, Yusuf Assyari, hingga Suharso Monoarfa.

Zulfi Syarif Koto lahir di Bukittinggi, Sumbar, 29 Oktober 1950. Sejak umur 8 bulan sampai tamat SMA, ia lebih banyak berada di Medan, Sumatera Utara. Tahun 1970, ia melanjutkan kuliah di ITB Planologi dan diwisuda 1979. Zulfli melanjutkan pendidikan S2 Public Policy, Untag Surabaya tahun 1994.

Berikut ini hasil wawancara khusus dengan Zulfi Syarif Koto oleh Robert Adhi Kusumaputra belum lama ini.

Mengapa "backlog" perumahan tidak pernah terpenuhi, malah terus bertambah?
Kalau kita melihat jumlah rumah saat ini, dan membandingkan dengan jumlah kepala keluarga, lalu melihat ketimpangannya, itu disebut backlog. Dan backlog sudah ada sejak Indonesia merdeka. Masalah backlog ini, setelah kupelajari dari tahun ke tahun, memang tidak pernah berkurang. Mengapa? Ini alamiah.

Pertama, dampak kemajuan ekonomi yang membuat kebutuhan rumah terus meningkat.  Pada tahun 2010, menurut data Kemenpera, backlog sebanyak 8,2 juta rumah, sedangkan data Bappenas menyebutkan 9 juta rumah. Persoalan perumahan bisa dilihat dari dua sisi, yaitu sisi pemenuhan kebutuhan, dan begitu naik ekonominya, rumah menjadi investasi. Ibarat mata uang, ada dua sisi. Dan ini terjadi di negara mana pun.

Kedua, terjadinya pertambahan penduduk secara alamiah. Pertambahan jumlah orang menikah menyebabkan kebutuhan akan rumah meningkat. Ini alamiah, Menurut survei yang dilakukan tahun 2004, kebutuhan rumah 800.000 unit setiap tahun.

Ketiga, akibat bencana alam. Peristiwa gempa, banjir, kebakaran, dan sebagainya membuat jumlah rumah berkurang. Lalu, kalau kita lihat, sejak dulu ada rumah tidak layak huni berdinding gedhek dan berlantai tanah. Tak ada bencana pun, rumah ini bisa runtuh sendiri. Jumlah rumah jenis ini cukup signifikan.

Sejauh mana keseriusan perhatian pemerintah pusat mengatasi masalah perumahan rakyat?
Pada tahun 1950, Wakil Presiden Bung Hatta dalam Kongres Perumahan Sehat kedua di Bandung (sebelumnya digelar tahun 1948) menegaskan, rumah adalah kebutuhan dasar manusia, dan itu urusan pemerintah, terutama pemda. Kemudian ada kampanye menyediakan satu rumah sehat untuk satu keluarga. Lalu berdirilah CSW, dan dibangunlah rumah-rumah di Kebayoran Baru dan lainnya.

Pada tahun 1950-1955 terjadi dinamika politik. Pemerintah pusat tidak fokus lagi dan masalah perumahan dilupakan. Dan menurut saya, yang paling mendasar adalah dalam UUD 45 tidak disebutkan istilah rumah, Yang ada adalah “kesejahteraan rakyat”. Rumah seakan terlupakan. Dalam amendemen ke-4 Pasal 28h dinyatakan secara konkret bahwa rumah adalah hak dasar.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com