Pada 2015, dari seluruh kendaraan di Jakarta, sebanyak 38 persen merupakan kendaraan roda empat, 49 persen roda dua, dan 13 persen angkutan umum.
"Yang menyedihkan, persentase kendaraan umum turun," ujar Bambang dalam diskusi "Menatap Masa Depan Jakarta" di Hotel Borobudur, Jakarta, Rabu (21/2/2018).
Ia mengatakan, data tersebut merupakan indikasi perlunya kebijakan masif untuk membuat masyarakat beralih menggunakan angkutan umum.
Bambang mengaku, dirinya juga masih menggunakan kendaraan pribadi. Dalam keadaan macet, ia hanya mampu melaju kendaraannya dengan kecepatan 5-10 kilometer per jam.
"Jakarta sudah tambah flyover dan underpass tapi hanya selesaikan masalah di beberapa titik. Maka Jakarta harus menuju transportasi berbasis rel," kata Bambang.
Ia mencontohkan, pada zaman pemerintahan Belanda, Jakarta sudah memiliki trem sebagai alat transportasi.
Namun, trem beserta jalurnya ini malah disingkirkan untuk menyediakan jalan bagi kendaraan pribadi.
"Ini sebenarnya transportasi publik, tapi diganti jadi jalan untuk angkutan pribadi. Kita jangan terjebak terus untuk keinginan naik mobil pribadi," jelas Bambang.
Saat ini, lanjut dia, Jakarta mulai mengejar ketertinggalan dengan mengadakan transportasi berbasis rel seperti kereta ringan atau LRT, kereta bandara, dan moda raya transportasi (MRT).
Menurut Bambang, kereta bandara adalah suatu terobosan meski memang pelaksanaannya di lapangan belum sempurna karena sistem konektivitas yang kurang.
Pasalnya akses penumpang untuk menaiki kereta bandara masih sulit sehingga kebanyakan memilih untuk menggunakan kembali kendaraan pribadi.
"Kalau sekarang orang gunakan taksi dan transjakarta untuk sampai Stasiun Sudirman itu masih makan waktu. Akhirnya naik mobil saja, jadi tetap macet," tutur Bambang.
https://properti.kompas.com/read/2018/02/21/190529721/transportasi-di-jakarta-harus-berbasis-rel