Jakarta, KompasProperti - Hingga saat ini, belum ada pengembang swasta yang membangun rumah susun milik (rusunami), kecuali PT Bakrieland Development di Pulogebang.
Namun, pengembangan rusunami itu pun dikerjakan bersama Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Perum Perumnas. Padahal, aturan yang menaungi tentang rusun itu sudah terbit sejak 2008, yakni Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-31/PMK.03/2008.
Kemudian, beleid yang mengatur secara lengkap terkait rusun adalah Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011.
"Saya minat (bangun rusunami) selama feasible. Kalau sekarang, tidak akan mungkin pengembang swasta mau bangun rusun. Rusunami sudah ada 8 tahun, siapa yang mau bangun selain Perumnas?" ujar Managing Director PT Sri Pertiwi Sejati (SPS Group) Asmat Amin kepada wartawan, Selasa (7/6/2017).
Asmat mengatakan pemerintah seharusnya mengevaluasi setiap peraturan yang membuat pengembang swasta tidak mau membangun rusunami.
Evaluasi ini bahkan seyogianya dilakukan bertahun-tahun lalu. Hal tersebut membuktikan bahwa pemerintah tidak berhasil mendorong pembangunan vertikal seperti yang selama ini digaungkan.
"Pemerintah mencanangkan bangunan vertikal, tetapi aturannya tidak mendukung. Buat apa ada aturan kalau sampai 8 tahun tidak ada yang bangun?" kata Asmat.
Kendala harga
Asmat menilai bahwa kendala utama pengembang tidak mau membangun rusunami adalah patokan harga yang tidak layak.
Misalnya, harga per unit sudah dipatok Rp 250 juta, tetapi di luar itu, ada patokan harga per meter persegi yakni Rp 7,9 juta tergantung daerahnya.
Seharusnya, lanjut Asmat, jika ingin mematok harga unit, pemerintah tidak membatasi harga per meternya. Jadi, jika pengembang membangun di tengah kota harganya akan sesuai.
"Selanjutnya, tinggal ukuran saja yang dipikirkan. Mau jual 20 meter persegi atau 25 meter persegi ngga perlu dipatok harganya per meter persegi, karena tanah kan beda-beda harganya, misalnya di Sudirman dan MT Haryono," jelas Asmat.
Selain itu, untuk membeli rusunami, masyarakat juga harus menggunakan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) sehingga harus mengikuti aturan dari perbankan.
Berbeda dengan apartemen, pengembang swasta bisa menawarkan program cicilan bertahap kepada konsumen dan menerima dana secara langsung tanpa melalui bank.
"Kalau rusun di-KPR-kan, harus sudah jadi 100 persen dahulu, sedangkan untuk membangunnya bisa dua tahun," tutur Asmat.
Meski rusunami sudah terbangun pun, tambah dia, tetap ada inspeksi dari bank apakah sudah layak jual. Dari sisi pengembang, aturan ini sangat tidak menguntungkan mengingat waktu pembangunan dalam 2 tahun, hanya mendapat margin 20 persen dan terpotong bunga 24 persen.
"Padahal harusnya pengembang bisa KPR-kan sebelum bangunan jadi 100 persen dan pencairan dana dari bank berdasarkan progress. Kalau progress 20 persen ya dicairkan 20 persen," tutur Asmat.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.