Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Soal Bukit Duri, Pemprov Jakarta Dianggap Terapkan Aturan Kolonial

Kompas.com - 11/01/2017, 09:47 WIB
Arimbi Ramadhiani

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta menggusur warga Bukit Duri pada September 2016 silam.

Penggusuran ini dilakukan Pemprov dengan dalih tanah tersebut milik negara dan akan digunakan untuk proyek pencegahan banjir. Padahal, anggapan tersebut tidak sesuai dengan aturan yang kini berlaku di Indonesia.

"Dalam aturan mana pun sebetulnya tak akan ditemukan istilah tanah negara," ujar Ketua Pembina Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Nursyahbani Katjasungkana kepada Kompas.com, Selasa (10/1/2017).

Istilah ini, kata Nursyahbani, bersumber pada kebijakan zaman kolonial yang berbasis Agrarische Wet 1870 dan Domein Verklaring.

Pemerintah Kolonial Belanda waktu itu menyatakan bahwa semua tanah adalah milik pemerintah kolonial kecuali dibuktikan sebaliknya.

Dengan kata lain, sampai dengan adanya orang, warga, atau korporasi bisa membuktikan hak atas tanahnya dengan sertifikat atau bukti hak lainnya, yakni verponding, pethok, atau girik, maka tanah tersebut bukan milik pemerintah kolonial.

KOMPAS.com / ANDRI DONNAL PUTERA Suasana lokasi penggusuran permukiman di Bukit Duri, Tebet, Jakarta Selatan yang masih dikerjakan oleh kontraktor pada Jumat (6/1/2017) sore. Gugatan warga Bukit Duri terhadap Pemprov DKI atas penertiban tersebut dikabulkan oleh PTUN.

"Konsep ini sebetulnya sudah ditinggalkan sejak kemerdekaan terutama dengan adanya pasal 33 UUD 1945," kata Nursyahbani.

Pasal tersebut, tambah dia, intinya menyatakan bahwa bumi, air dan kekayaan alam di dalamnya dikuasai negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam hal ini, konsep antara "dimiliki" dengan "dikuasai" berbeda jauh.

Nursyahbani juga menuturkan, isi Domein Verklaring Pasal 1: ”semua tanah-tanah yang dikuasai oleh penduduk peribumi yang tidak dapat dibuktikan oleh kepemilikannya adalah milik negara”.

Domain Verklaring adalah tanah-tanah yang dikuasai oleh masyarakat pribumi dan tidak bisa membuktikannya, maka tanah tersebut adalah milik pemerintah Hindia Belanda.

"Kebijakan ini memang dibuat oleh pemerintah Belanda ketika mereka memerlukan tanah untuk investasi ketika VOC bangkrut. DV adalah cara gampang menguasai tanah milik pribumi (non-Eropa)," jelas Nursyahbani.

Setelah kemerdekaan, lanjut dia, pasal 33 UUD dijabarkan dalam Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 dan Peraturan Pemerintah (PP) 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah.

Kompas.com/Robertus Belarminus Proyek normalisasi Sungai Ciliwung di kawasan Bukit Duri, Tebet, Jakarta Selatan, sepanjang hampir 2 kilometer terus dikerjakan. Proyek dari Jembatan Abdulah Syafei sampai Jembatan Bukit Duri itu, sekitar 65 persennya sudah dikerjakan. Kamis (27/10/2016)
Hak menguasai dalam pasal 33 UUD 1945 dan pasal 2 ayat 2 UU Pokok Agraria Tahun 1960 diartikan negara mengatur dan menyelenggarakan peruntukan pengguna, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa.

Hak menguasai juga berarti menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang, bumi, air dan ruang angkasa.

Definisi lainnya dari hak menguasai adalah menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan hukum mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.

"Dari ketentuan ini jelas perubahan dari konsep negara sebagai pemilik yang peninggalan pemerintah kolonial, menjadi konsep penguasaan oleh negara dalam arti negara hanya mengatur agar tertib dan memenuhi prinsip keadilan sosial," tutur Nursyahbani.

Sebelumnya, Pengadilan Tata Usaha Negara mengabulkan gugatan warga Bukit Duri terhadap surat peringatan yang dikeluarkan Pemerintah Kota Jakarta Selatan kepada mereka.

Majelis Hakim membatalkan SP 1, 2, dan 3 tersebut karena dinilai melanggar undang-undang. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau