JAKARTA, KOMPAS.com - Perselisihan yang kerap terjadi antara konsumen dan pengembang properti bukanlah hal baru.
Kebanyakan terjadi karena konsumen merasa tak mendapatkan kenyataan sesuai janji pengembang ketika membeli propertinya.
Ketika itu terjadi, posisi konsumen sebagai pihak paling dirugikan tak selalu bisa menang melawan pengembang. Hal itu disebabkan hukum perlindungan konsumen di Indonesia masih belum kuat.
"Konsumen kalau ada masalah dengan pengembang hanya mengadu ke YLKI saja dan berakhir di pengaduan media serta tidak bisa langsung menuntut karena tidak ada dasar hukumnya," ucap Direktur Eksekutif Pusat Studi Properti Indonesia (PSPI) Panangian Simanungkalit kepada Kompas.com, Selasa (13/12/2016).
Salah satu contoh nyatanya adalah perselisihan antara konsumen dan PT Metropolitan Land Tbk (Metland) yang baru-baru ini terjadi.
Metland dituding salah satu konsumennya bernama Rudy Heart Pakpahan tidak menepati janji terkait unit di Ruko Niaga Boulevard Metland Menteng di Cakung, Jakarta Timur.
Dalam pengakuannya, Rudy pernah berpikiran untuk menggugat Metland ke pengadilan, tetapi atas berbagai masukan, niatan itu urung dilakukan karena merasa sulit menang di pengadilan melawan perusahaan sebesar Metland.
"Dari berbagai masukan, tidak mudah melawan perusahan besar, dan butuh waktu lama, bisa 4 tahun lebih sampai final," ucapnya.
Panangian bahkan menilai karena keengganan tersebut membuat konflik konsumen dan pengembang hanya berakhir damai, tanpa penyelesaian memuaskan bagi pihak konsumen yang dirugikan.
Padahal, semestinya konsumen bisa menuntut lebih seperti halnya ketika konsumen telat melakukan pembayaran dan didenda oleh pengembamg.
"Ini disebabkan karena tingginya posisi pengembang properti terhadap konsumen di Indonesia akibat demand yang tinggi tidak diimbangi suplai yang memadai," jelas Panangian.
Untuk menangani hal ini, Panangian menyarankan Asosiasi Pengembang Real Estat Indonesia (REI) yang baru saja mendapat pemimpin baru untuk memberikan semacam pengetahuan ke pengembang agar melaksanakan good corporate governance.
"Sudah saatnya ketua REI sekarang di satu sisi mendorong rumah rakyat, tapi di sisi lain membangun profesionalisme pengembang-pengembang. Tujuannya mengikuti good corporate governance dan menjaga citranya secara profesional," imbuhnya.
Salah satu cara yang bisa dilakukan oleh REI untuk melakukan hal itu adalah dengan belajar dari pengembang-pengembang yang sudah melakukan initial public offering (IPO).
Pasalnya, pengembang yang sudah IPO tersebut dinilai Panangian telah banyak pengalaman, termasuk melalui krisis 1998 sehingga tahu betapa pentingnya nama baik dan tidak melakukan hal-hal yang merugikan konsumen.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.