JAKARTA, KOMPAS.com - Aplikasi green building di Indonesia masih sulit karena minimnya kesadaran para investor atau pengusaha dalam industri bangunan.
Menurut Ketua Umum Ikatan Arsitektur Indonesia (IAI) Ahmad Djuhara, saat ini belum ada pemikiran yang sama antara para arsitek dan klien yang menyewa mereka untuk mendesain gedung.
"Arsitek Indonesia sebenarnya udah aware tapi kan mereka bekerja sesuai pesanan klien dan klien ini sering menganggap lebih baik bangun gedung biasa saja daripada green building," jelas dia kepada Kompas.com, pekan lalu.
Djuhara bukannya menyalahkan klien, namun kondisi di lapangan diakuinya seperti itu. Karena itu, dia berharap agar semua pihak sadar dan pengajaran di sekolah-sekolah tentang pentingnya green building ditambah.
"Hingga pada akhirnya, para klien itu sendiri yang menuntut arsitek untuk merancang desain green building," tambahnya.
Keengganan klien untuk meminta rancangan desain green building diakui Djuhara karena desainnya lebih mahal daripada gedung biasa.
Menurut dia, untuk desain best practice-nya menambah investasi 11 persen lebih besar dan Return on Assests (RoA) lebih lama yakni mencapai 11 sampai 12 tahun.
Masalah lain yang membuat sulitnya aplikasi green building di Indonesia adalah belum pahamnya masyarakat tentang definisi green building.
Green building dianggap sebagai sebuah gedung atau bangunan dengan warna cat hijau, padahal artinya tak seperti itu.
"Di sini masih salah kaprah tentang green building, ini bukan soal penampilan fisiknya, tetapi ke performanya yang ramah lingkungan," tandas dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.