Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

60 Persen Tukang Bangunan Indonesia Tidak Terampil

Kompas.com - 10/03/2016, 07:34 WIB
Arimbi Ramadhiani

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Persoalan besar di bidang jasa konstruksi adalah bagaimana meningkatkan jumlah dan kualitas tenaga konstruksi atau tukang bangunan. Saat ini, jumlah tenaga jasa konstruksi yang tidak terampil masih lebih besar dibandingkan yang sudah memiliki sertifikasi dan terampil.

"Tenaga yang sudah punya sertifikasi sekitar 10 persen, terampil 30-40 persen, sisanya 60 persen itu tidak terampil. Kalau kita kejar, ada dana (infrastruktur) Rp 5.000 triliun sampai 2019 ini, yang mau mengerjakan siapa?" ujar Wakil Ketua Bidang Sertifikasi dan Administrasi Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Provinsi (LPJKP) Sumatera Barat Insannul Kamil, di Jakarta, Selasa (8/3/2016).

Ia mengatakan, saat ini juga masih banyak tenaga terampil dan ahli tidak dibedakan. Padahal seharusnya, tenaga ahli memiliki sertifikasi.

Di sektor konstruksi, sebenarnya Indonesia bukan tidak siap menyongsong Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Namun, sertifikasi dan registrasi menjadi paradigma baru.

Tugas besar pemerintah dan pelaku jasa konstruksi adalah mengutak-atik proporsi jumlah tenaga konstruksi yang ada.

Menurut dia, proporsi yang ideal adalah menurunkan jumlah tenaga tidak terampil menjadi 30 persen dan meningkatkan tenaga terampil menjadi 50-60 persen.

Salah satu yang bisa mendorong peningkatan kualitas dengan sertifikasi adalah melalui pengesahan Rancangan Undang-undang (RUU) Jasa Konstruksi.

"Perubahan UU yang dilakukan juga menjawab kebutuhan menuju sektor jasa konstruksi yang bersih (dari korupsi) dan sejalan dengan revolusi mental," jelas Insannul.

Asosiasi

LPJK sendiri, lanjut dia, memonitor asosiasi badan usaha dan tenaga kerja konstruksi. Sementara untuk pengawasan anggota asosiasi, hal itu menjadi kewajiban asosiasi terkait.

Saat ini, asosiasi-asosiasi harus memahami standar pengawasan anggotanya. Ini yang harus menjadi fokus asosiasi.

Artinya, pengawasan anggota asosiasi tidak jauh berbeda dari satu asosiasi dengan asosiasi lain. Terlebih lagi, standar ini sebenarnya sudah ada.

"Kalau pengawasan monitor terhadap anggota berjalan sebagaimana standar yang disebutkan, kita menuju peraturan yang berjalan lebih baik," tandas Insannul.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau