Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pengembang Mangkir, Konsep Hunian Berimbang Jalan di Tempat

Kompas.com - 08/01/2016, 21:00 WIB
Hilda B Alexander

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Mangkirnya pengembang dari kewajiban melaksanakan pembangunan hunian berimbang, dituding sebagai penyebab tingginya angka backlog atau ketimpangan antara pemenuhan kebutuhan dan pasokan perumahan yang sudah mencapai angka 13,5 juta secara kepemilikan. 

Direktur Jenderal Penyediaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Syarif Burhanuddin mengungkapkan hal itu dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Jumat (8/1/2016).

Padahal, kata Syarif, menurut UU Nomor 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, pengembang diwajibkan mewujudkan perumahan dengan konsep hunian berimbang.

"Backlog saat ini sebanyak 13,5 juta unit. Sekitar 60 persennya merupakan kebutuhan rumah Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Sehingga yang lebih banyak dibutuhkan adalah rumah untuk kelas menengah ke bawah," ungkap Syarif.

Syarif menjelaskan, selain telah diamanatkan dalam perundangan, juga dikuatkan dengan Peraturan Menteri (permen) Nomor 10 Tahun 2012, bahwa konsep hunian berimbang untuk rumah tapak adalah dengan perbandingan 1:2:3.

Artinya, dalam membangun 1 rumah mewah, pengembang wajib mengimbanginya dengan 2 rumah menengah dan 3 rumah sederhana, dalam satu hamparan, atau tidak dalam satu hamparan tetapi pada satu wilayah Kabupaten/Kota.

Sedangkan dalam UU Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, diatur bahwa dalam pembangunan rumah susun komersial, pengembang wajib menyediakan rumah susun umum untuk MBR, sekurang-kurangnya 20 persen dari total luasan lantai rumah susun komersial yang dibangun.

www.shutterstock.com Ilustrasi. Ada cara mudah meningkatkan nilai jual rumah.

Peran pemda

Kebijakan ini, tambah Syarif, sempat dikeluhkan oleh para pengembang, karena tanah yang dianggap strategis untuk rumah komersial harganya jauh lebih mahal, sehingga tidak dimungkinkan untuk dibangun rumah sederhana dalam satu hamparan.

Namun, menurut dia, saat ini sebenarnya tidak ada alasan lagi bagi pengembang untuk menolak melaksanakan kewajiban, karena sudah diberi kemudahan.

"Pengembang diperbolehkan untuk membangun hunian berimbang dalam satu wilayah Kota atau Kabupaten. Sayangnya masih banyak pengembang yang belum menjalankan kewajibannya," keluh Syarif.

Sebagai informasi, dalam Permen Nomor 10 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman dengan Hunian Berimbang sebagaimana telah diubah melalui Permen Nomor 7 Tahun 2013, diatur bahwa pengembang yang tidak melaksanakan konsep hunian berimbang dapat dikenai tindak pidana dan perdata.

Bahkan sanksi terberat dalam permen tersebut adalah pencabutan izin usaha perusahan. Namun, pada kenyataannya masih banyak pengembang yang tidak mengindahkan peraturan tersebut.

Menurut Syarif, saat ini pengembang lebih banyak membangun rumah komersial karena keuntungan yang lebih besar. Oleh karena itu dibutuhkan peran aktif pemda untuk mendukung kebijakan hunian berimbang.

"Kunci utamanya adalah pemda. Karena izin mendirikan bangunan (IMB) dikeluarkan pemda. Kalau saat pengembang mengajukan siteplan yang tdiak mencantumkan komposisi hunian berimbang, sebaiknya izin tidak dikeluarkan," cetus Syarif.

Syarif mengharapkan Pemda dapat segera membuat Peraturan Daerah (perda) untuk mendukung Undang-undang yang mengatur hunian berimbang, sebagaimana diamantkan pada pasal 36 ayat 3 UU Nomor 1 Tahun 2011.

"Meskipun belum ada perda, saat ini sebenarnya Undang-undang sudah berlaku. Sehingga pengembang harusnya segera memenuhi kewajibannya. Namun untuk lebih memperkuat, Pemda diharapkan dapat segera membentuk Perda," pungkas Syarif. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau