Kolam membiru itu memang berbentuk melingkar dikelilingi vila hotel bermaterial kayu dan bambu. Alhasil, ketika melempar pandangan ke sekeliling, kontrasnya warna biru dan coklat kayu menjadi perpaduan cantik dan teduh.
Sampai sekarang, di seluruh Pulau Gili Air memang tidak ada resor berkonsep lagoon seperti di Gili Air Lagoon itu. Ada 17 unit vila hotel di resor ini, dan semuanya dibuat melingkari atau menghadap ke kolam renang yang bernuansa biru itu.
"Memang dibuat berbeda. Perbedaan paling mencolok adalah konsep kolam renang yang kami buat melingkar dikelilingi 17 unit vila ini. Desainnya gabungan antara tradisional dan modern. Dari luar orang melihat nuansa tradisional Lombok, tapi di dalamnya menegaskan sebagai hotel modern, bukan vila. Kalau hotel room kan lengkap fasilitasnya," kata Djaja Roeslim, Presiden Direktur PT Trias Jaya Propertindo (TJP), kepada KOMPAS.com, Sabtu (8/8/2015), di Gili Air Lagoon, Gili Air, Lombok.
Djaja menuturkan, bukan tanpa tujuan dirinya meminta seorang arsitek asal Bali merancang konsep lagoon tersebut pada resor ini. Ia ingin mengumbar kenyamanan, terutama untuk para tamunya dari luar negeri.
"Kami di sini menjual mood untuk bule-bule itu. Saya sudah lihat Gili Trawangan, dan pulau itu sangat ramai. Trawangan itu party island, sedangkan Gili Meno lebih seperti honeymoon island. Nah, Gili Air itu family island, maka kami buat resor ini seperti halnya pulau itu, yaitu membuat keluarga nyaman," tambahnya.
Dibandingkan Gili Trawangan atau Gili Meno, Pulau Gili Air memang lebih sepi. Alamnya bagus dan terjaga sehingga potensinya untuk meraup wisatawan mancanegara sangat besar. Namun, hanya investor berkemauan besar mau melirik pulau ini.
Djaja mengakui, awal ke datangannya ke Gili Air pada 2013 masih meraba-raba. Ia hanya sepintas berkeliling pulau dan belum berpikir untuk menakar keuntungan sama sekali, apalagi lahan resor Gili Air Lagoon itu ia bangun di atas lahan sewa milik Pemprov Nusa Tenggara Barat (NTB).
"Awalnya kami sewa, setelah terbangun jadi BOT (Build, Operate and Transfer). Kami masih belum tahu berapa tahun sewanya, tapi kami perkirakan 30 tahun. Investasinya mahal, terutama material," ujar Djaja.
Menurut dia, cost untuk membiayai fisik bangunan di pulau (Gili Air) lebih tinggi dibandingkan membangun di daratan. Besarnya bisa 50 persen lebih mahal, bahkan dua kali lipat dari Jakarta.
"Tantangannya memang banyak. Desain dan mengurus izinnya lama sekali. Urus sertifikat setahun, IMB juga begitu. Biaya materialnya juga sangat mahal," ujar Djaja.
"Setiap hari ada sekitar 50 feri dari Bali nyebrang ke sini. Itu bisa sampai 100 turis di kapal boat itu. Mereka masuk ke ketiga Gili ini. Isinya bule semua. Memang, yang paling banyak itu masih singgah ke Gili Trawangan. Tapi, perlahan turis juga bosan dengan keramaian di sana dan ingin cari yang sepi dan nyaman," ujarnya.
Pendapat itu ditimpali oleh Craig R Jones, Chief Executive Officer (CEO) Platinum Hotel Management, yang mengelola pemasaran Gili Air Lagoon. Menurut dia, Gili Air semakin diminati turis asing karena lautnya yang indah dan penduduknya sangat mendukung pariwisata.
Tak heran, lanjut dia, meski baru seumur jagung, Gili Air Lagoon sudah meraup okupansi cemerlang. Dengan rate 200 dollar AS per malam, Craig mengaku tak sulit menjual kamar vila hotel ini.
"Tak susah. Mereka datang ke sini dari bermacam cara yang sudah kami sebar. Sebanyak 40 persen datang lewat online, lalu 40 persen lewat travel agent, dan 20 persen sisanya adalah walking guest," katanya.
Bahkan, lanjut dia, untuk akhir Desember sudah ada tamu yang memesan 10 kamar dari 17 unit yang ada. Padahal, harga per malam untuk akhir tahun bisa tembus Rp 3 jutaan. Ia akui, pada akhirnya turis asing yang masuk Gili Air memang tak pernah sepi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.