Qatar memungkinkan kepemilikan properti freehold bagi warga negara asing di zona tertentu. Namun, sektor properti masih dalam masa pertumbuhan dan investor lokal lebih memilih untuk berdagang tanah daripada mengembangkannya.
Pemilihan Qatar oleh FIFA sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022 memperburuk keadaan ini. Meskipun pertumbuhan penduduk dan ekonomi adalah faktor utama dari ledakan harga tanah.
Berdasarkan Indeks Harga Properti Qatar yang dilansir bank sentral meliputi tanah, vila dan bangunan tempat tinggal, mencapai 271,3 poin pada Maret 2015. Indeks ini naik dari 194,5 poin pada Januari 2014.
"Harga tanah mempersulit dalam pengembangan perumahan bawah dan menengah. Di beberapa daerah, spekulan telah menjual dengan harga yang tidak layak secara finansial, bahkan untuk mengembangkan jenis properti apa pun," kata Direktur Associate DTZ Qatar, Mark Proudley.
Ia memperkirakan, harga sewa naik 5-10 persen di beberapa daerah dalam beberapa bulan mendatang. Hal tersebut dipicu adanya kekurangan akomodasi di semua sektor. Namun, yang paling merasakan dampaknya adalah segmen menengah. Pasokan sebagian besar untuk proyek-proyek dengan segmentasi kelas di atasnya.
Sementara itu, Chief Executive dari pengembang Dubai Manazil Group, Abdul Mohsen al-Hammadi, menuturkan dominasi pengembang pemerintah dan semi-pemerintah menyisakan sedikit ruang untuk sektor swasta.
"Bahkan di daerah pemukiman, (harga tanah) tiga kali lipat dari Dubai. Oleh karena itu, laba atas investasi sangat rendah," tambahnya.
Pada kuartal pertama 2015, transaksi properti di Qatar senilai 26 miliar riyal atau setara Rp 92,5 triliun, naik 50 persen dari tahun sebelumnya.
Di sisi lain, wakil presiden investasi real estat dan penasehat di QInvest, Vaughn Weatherdon, mengatakan penjualan lahan sendiri menyumbang sekitar setengah dari total nilai transaksi properti di Qatar. Sementara di sebagian besar negara maju penjualan tanah biasanya hanya sekitar 5 persen.