Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Properti, "Big Ticket Item" yang Dipengaruhi Nilai Tukar Uang

Kompas.com - 12/05/2015, 16:27 WIB
Hilda B Alexander

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Sinyalemen yang dilontarkan begawan sekaligus maestro properti Indonesia, Ciputra, bahwa pasar properti saat ini sedang terkoreksi, bukan belaka isapan jempol, atau penerawangan sesaat berdasarkan data dan fakta yang dikumpulkan dalam waktu singkat.

Pendiri imperium Ciputra Group ini pun mengimbau pengembang untuk hati-hati, dan tidak terlalu agresif melahirkan produk baru. Menurut Ciputra, peringatan dini bakal terkoreksinya pasar properti lebih dalam, harus diantisipasi para pengembang, terutama pengembang medioker, dan pengusaha yang baru menggeluti sektor ini.

Lesunya ekonomi Nasional, kata Ciputra, paling berdampak signifikan terhadap bisnis perkantoran, dan kondominium atau apartemen strata. "Perkantoran sudah over supply (kelebihan pasokan), demikian juga apartemen. Kalau sudah ada 40 persen produknya terjual, baru dibangun. Kalau masih kurang dari itu, pertimbangkan kembali," papar Ciputra.

Hal senada dikemukakan Indra Wijaya, profesional properti yang kini meneruskan bisnis sendiri. Menurut Indra, terkoreksinya pasar properti terlihat secara gamblang dari turunnya penjualan beberapa pengembang raksasa selama kuartal pertama 2015.

"Seberapa parah pasar terkoreksi? Bisa dilihat dari laporan keuangan emiten-emiten properti besar. Jika dalam periode yang sama tahun lalu msaih bisa menjual Rp 1 triliun tapi tahun ini ratusan miliar, itu bisa dikatakan anjlok," kata Indra kepada Kompas.com, Selasa (12/5/2015).

Namun begitu, Indra mengingatkan, bahwa membaca laporan keuangan tidak sesederhana itu. Ada beberapa hal spesifik yang harus ditelahaan lebih lanjut terkait penjualan, pendapatan, laba, utang, dan lain-lain. Karena itu, bisnis properti tidak sama dengan bisnis jual baju atau sepatu.

"Contohnya, penjualan apartemen itu kan yang menggunakan kredit (KPA) hanya 18 persen saja. Sebagian besar lagi justru tunai bertahap yang dicicil melalui pengembang. Nah, utang yang tercantum dalam laporan keuangan itu adalah cicilan konsumen yang sudah dikonversi ke dalam bangunan beton," imbuh Indra.

Lebih buruk

Sementara itu, CEO Relife Property Indonesia, Ghofar Rozaq Nadzila beranggapan, bahwa kondisi properti saat ini justru lebih buruk ketimbang 2008 silam. Saat itu, krisis finansial global yang dipicu di Yunani, menjalar ke seluruh dunia.

"Semuanya berjalan lambat. Karena itu, kami saat ini fokus hanya pada mempertahankan arus kas (cashflow)," ungkap Ghofar.

Tak mau berspekulasi lebih jauh, kata Ghofar, Relife Property pun memilih bermain aman hanya dengan membuka dua klaster baru pada tahun ini. Untuk melakukan ekspansi secara agresif seperti yang dilakukan pada 2013, dianggap tidak memungkinkan.

"Ada banyak rekan kami sesama pengembang yang terus-menerus merugi. Keadaan sudah semakin buruk. Terlebih sekarang sudah terjadi perang harga, karena untuk menarik konsumen, kami terpaksa menekan harga," tandas Ghofar.

Relife Property, saat ini tengah mengembangkan Greenland Forest Park, Relife Greenville, Pearl Garden, dan Relife Darul Istiqomah.

"Big ticket item"

Bisnis properti sejatinya adalah big ticket item. Properti, kata Direktur Utama PT Ciputra Surya Tbk., Harun Hajadi, memerlukan investasi jangka panjang. Konsumen harus menabung (saving) dulu atau menyimpan deposito sekian Rupiah untuk membeli properti. Tidak seperti membeli makanan atau minuman yang bisa langsung beli tanpa harus saving bertahun-tahun.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com