Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ambisi Tiongkok Bangun Kota Vertikal

Kompas.com - 03/11/2014, 14:13 WIB
Hilda B Alexander

Penulis

KOMPAS.com - Bukan Tiongkok kalau tidak bisa merealisasikan hal-hal kontroversial. Bahkan, untuk sektor gedung pencakar langit pun, negara ini dianggap mengalami kemajuan pesat. Jauh mengungguli Arab Saudi, Eropa, dan Amerika Serikat.

Direktur Eksekutif Council on Tall Buildings and Urban Habitat (CTBUH), Antony Wood, mengatakan Tiongkok terkini adalah kemajuan besar dalam tipologi, desain, dan juga teknis pencakar langit.

"Negara ini memperlihatkan peningkatan populasi global yang mendorong perlunya tata ruang berskala megacity  lengkap dengan gedung-gedung pencakar langit. Pada 2015, satu dari tiga bangunan jangkung di dunia dengan ketinggian 150 meter, berada di Tiongkok," papar Wood.

Pada tahun yang sama pula, Tiongkok akan mengoperasikan menara tertinggi kedua di dunia yang mengangkasa 632 meter, yakni Shanghai Tower. Belum lagi pencakar-pencakar langit di kota-kota lapis kedua dan ketiga lainnya. Kota Suzhou, contohnya.

Menurut Wood, meski masih sedikit orang yang mengetahui tentang Suzhou, namun populasi gedung jangkung di kota ini justru mengalahkan kepopuleran New York, dan Shanghai. Kota dengan jumlah penduduk 1,3 juta jiwa tersebut bakal menumbangkan rekor Shanghai, dengan membangun Zhongnan Center sejangkung 700 meter. Ikut bergabung dengan Suzhou adalah kota-kota macam Shenzhen, Wuhan, Tianjin, dan Shenyang.

Agresifitas kota-kota tersebut membangun, menjadikan negara ini memegang rekor sebagai negara pengoleksi pencakar langit terbanyak di dunia. Pada 2020 mendatang, Tiongkok menjadi rumah bagi enam dari sepluh bangunan tertinggi di dunia. Meskipun tak satu pun dari enam pencakar langit tersebut mampu menjungkalkan rekor Burj Khalifa, Dubai, setinggi 828 meter.

Tak hanya ambisius membangun, Tiongkok juga rajin melakukan percobaan dramatis dalam konstruksi gedung pencakar langit dan perencanaan kota. Sebagai respon terhadap dilema membangun banyak hunian, sementara pada saat yang sama dituntut untuk tetap mempertahankan kelayakan huni, Tiongkok akan menuju pengembangan kota vertikal (vertical city).

Contoh paling aktual adalah Shanghai Tower yang dirancang perusahaan Amerika Gensler. Bangunan ini membentuk batang spiral yang mencakup hunian, toko, kantor, galeri, dan fasilitas hiburan dengan struktur vertikal. Selain itu, menara ini juga dilengkapi kebun vertikal dan taman komunitas yang bisa dimanfaatkan penghuni.

Oleh karena itu, mafhum bila Wood, menjuluki menara ini sebagai bangunan yang berpotensi fantastis. "Komitmennya untuk ruang publik tidak diragukan," ujarnya.

Jejak Shanghai Tower bakal diikuti pengembangan-pengembangan serupa lainnya. "Saya mendengar banyak pengembang berbicara tentang menempatkan begitu banyak kegunaan di gedung sehingga Anda tidak akan pernah meninggalkannya. Ini mengerikan, bukan? Siapa yang tidak ingin meninggalkan gedung?," tanya Wood.

Bangunan Berkelanjutan

Wood justru menyarankan Tiongkok untuk menyerukan "urbanisme vertikal berkelanjutan", sebuah bangunan harus responsif terhadap topologi seperti pada arsitektur vernakular - Calgary dan Khartoum akan terlihat berbeda - dan dirancang dengan mempertimbangkan bangunan di sekitarnya.

"Bukan kebetulan bahwa setiap film fiksi ilmiah, dari Metropolis ke Blade Runner melalui Star Wars, membayangkan kota multi-level masa depan. Alasannya adalah karena itu benar-benar masuk akal," tandas Wood.

Rintisan ke arah kota vertikal, sejatinya sudah dimulai Tiongkok. Mereka mengadakan sayembara membangun kota masa depan dalam bentuk vertikal. Kota masa depan ini mampu memberikan lebih bagi penduduknya seperti kantor, taman, fasilitas budaya, dan rumah dengan kemampuan untuk memanen air hujan, mengahsilkan makanan dan menciptakan listrik dari matahari, angin dan "ganggang kota".

Perdana Menteri Li Keqiang mengatakan, urbanisasi merupakan mesin besar pertumbuhan yang mendorong pemerintah merestrukturisasi ekonominya jauh dari ketergantungan pada ekspor dan investasi. Sementara di sisi lain, 50 persen orang-orang tinggal di kota-kota pada tahun 2011 dan pada tahun 2030 itu diperkirakan terdapat 1 miliar orang, atau 70 persen dari populasi, akan tinggal di perkotaan. Ini berpotensi membuat kota menjadi kumuh, memperburuk perubahan iklim dan mendorong instabilitas sosial.

Divisi Populasi PBB memproyeksikan bahwa pada tahun 2050, 66 persen dari populasi dunia mendimai perkotaan, naik dari 54 persen saat ini. Setelah pertumbuhan penduduk diperhitungkan, terdapat 2,5 miliar lebih banyak orang yang tinggal di kota.

Oleh karena itu, pembangunan pencakar langit yang dapat mengakomodasi sebagian besar kebutuhan warganya, akan menjadi pertimbangan utama.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau